Ahad 05 Oct 2025 15:03 WIB

Benarkah Program MBG Picu Lonjakan Harga Ayam Potong? Ini Analisis Ekonom

Jika MBG dilanjutkan, pengelolaan sebaiknya dikembalikan ke sekolah dan komunitas.

Rep: Eva Rianti/ Red: Andri Saubani
Siswa menyantap hidangan Makanan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Pejaten Barat 01 Pagi, Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025). SDN Pejaten Barat 01 Pagi mengambil langkah antisipatif dengan melibatkan komite orang tua murid untuk mengawasi proses pendistribusian MBG dari dapur SPPG hingga mengecek kualitas makanan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Siswa menyantap hidangan Makanan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Pejaten Barat 01 Pagi, Jakarta Selatan, Senin (29/9/2025). SDN Pejaten Barat 01 Pagi mengambil langkah antisipatif dengan melibatkan komite orang tua murid untuk mengawasi proses pendistribusian MBG dari dapur SPPG hingga mengecek kualitas makanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung Pemerintah Prabowo Subianto dinilai telah mengerek harga komoditas pangan, terutama daging ayam. Hal itu dinilai telah merugikan para pedagang kecil hingga masyarakat.

Center of Economic and Law Studies (Celios) berpandangan, program MBG yang awalnya ditujukan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan gizi anak sekolah dan menekan angka stunting, ternyata realisasinya di lapangan jauh dari harapan.

Baca Juga

“Pelaksanaan yang buruk di lapangan kini menimbulkan persoalan serius, harga daging ayam melonjak, pedagang ayam potong dan UMKM kehilangan pembeli, dan perputaran ekonomi justru terkonsentrasi pada perusahaan besar pengelola dapur umum MBG,” kata Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar dalam keterangannya, dikutip Ahad (5/10/2025).

Media menjelaskan, sejak program MBG dimulai, penyediaan jutaan porsi makanan bergizi per hari dipusatkan di dapur umum berskala besar. Dapur-dapur tersebut beroperasi dengan standar industri dan memilih pasokan ayam langsung dari pemain besar yang memiliki kapasitas produksi tinggi.

Sebagian besar dapur umum tersebut tidak membeli ayam dari pasar tradisional atau peternak rakyat, melainkan mengandalkan kontrak pasok besar yang stabil dari perusahaan unggas besar. Pola itu sekaligus memutus hubungan ekonomi dengan pedagang kecil yang selama ini hidup dari pasar harian.

Menurut pengamatannya, pasokan ayam di pasar rakyat semakin menipis karena sebagian besar ayam diborong oleh dapur umum MBG untuk memenuhi kebutuhan masif mereka. Kondisi tersebut membuat stok ayam langka dan harga melonjak.

Harga daging ayam ras segar yang sebelumnya berada di kisaran Rp 35.000 per kilogram kini naik ke Rp 38.000 dan bahkan menembus Rp 50.000 di beberapa daerah. Pedagang yang tersisa pun terpaksa menaikkan harga jual ke konsumen untuk menutup biaya, tetapi kenaikan ini justru semakin menekan daya beli masyarakat kecil.

Media menyampaikan, data pergerakan harga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sejak awal Juni 2025, harga daging ayam ras melonjak dari Rp 35.066 menjadi Rp 38.322 per kilogram, atau naik sekitar 9,3 persen hanya dalam waktu empat bulan. Kenaikan yang sama juga terjadi pada ikan kembung sebesar 3,2 persen (dari Rp 40.665 menjadi Rp 41.955) dan telur ayam sebesar 2,9 persen (dari Rp 28.973 menjadi Rp 29.807).

photo
Sejumlah perempuan memukul panci dan rantang saat mengikuti aksi Kenduri Suara Ibu Indonesia #2 di Bundaran UGM, Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (3/10/2025). Aksi yang diikuti ibu-ibu dan perempuan muda tersebut sebagai bentuk sikap atas Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Bandung Barat dan berbagai wilayah lain di Indonesia. - (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Gejolak harga terjadi pada ketiga komoditas tersebut sebagai komoditas utama MBG, sementara bahan pangan lain relatif stabil. “Fakta ini memperkuat dugaan bahwa lonjakan permintaan akibat MBG adalah pemicu langsung kenaikan harga ayam di pasar,” tegasnya.

Media mengungkapkan, dampak dari tata kelola MBG yang tersentralisasi, dengan dapur besar dan tidak melibatkan sekolah dan UMKM sudah mulai terasa dampaknya.

“Peternak ayam dan pedagang ayam di pasar tradisional sulit masuk ke rantai pasok MBG karena tidak bisa memenuhi volume dan standar kualitas. Skema MBG yang kini bertumpu pada dapur umum berskala besar harus segera dihentikan,” ujarnya.

Menurut Media, jika MBG dilanjutkan, pengelolaan program MBG sebaiknya dikembalikan ke sekolah, kelompok masyarakat, dan komunitas kecil di desa atau lingkungan RT. Dengan cara tersebut, pengadaan bahan pangan dapat melibatkan pedagang lokal, peternak rakyat, serta UMKM di sekitar sekolah.

“Kalau sekarang, uangnya berputar di pemain besar, dan dinikmati pengelola dapur besar yang bermodal. Kalau masih seperti skema sekarang, lebih baik MBG disetop saja,” usulnya.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement