Jumat 03 Oct 2025 16:41 WIB

Pakar Dorong Prabowo Revisi Peta Kawasan Hutan dan Reformasi Agraria

Seharusnya besaran denda bisa dievaluasi dari nilai atas kinerja lahan tersebut.

Satgas Penertiban Kawasan Hutan memasang plang di kawasan kebun sawit yang disita untuk negara di Kalimantan.
Foto: Antara
Satgas Penertiban Kawasan Hutan memasang plang di kawasan kebun sawit yang disita untuk negara di Kalimantan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 sebagai pengganti PP 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan PNBP memunculkan polemik serius di sektor perkebunan sawit. Aturan baru tersebut membawa konsekuensi tambahan, mulai denda yang mencapai Rp 25 juta per hektare per tahun hingga perluasan kewenangan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).

Guru Besar IPB bidang ahli Kebijakan, Tata Kelola Pertanahan, Ruang, dan Sumber Daya Alam (SDA) Budi Mulyanto menyatakan, PP Nomor 45 Tahun 2025 memang memberikan otoritas lebih kepada Satgas PKH. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah besaran denda yang dianggap memberatkan pelaku usaha.

Baca Juga

"Ada istilah penguasaan kembali, paksaan pemerintah, bahkan kewenangan untuk mencabut izin, memblokir rekening, sampai mencegah orang keluar negeri. Walaupun denda sudah dibayar, lahan tetap bisa diambil kembali. Ini yang membuat horor, pelaku industri sawit semakin stres," kata Budi dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (3/10/2025).

Menurut Budi, angka denda terbaru lebih besar lima sampai tujuh kali dibanding dengan aturan sanksi administrasi pada PP Nomor 24 Tahun 2021. "Besaran denda ini banyak dikomentari sebagai pembunuhan industri sawit. Bukan hanya menimbulkan ketakutan, tapi juga citra buruk investasi di Indonesia," ujarnya.

Budi menyebut, seharusnya besaran denda bisa dievaluasi dari nilai atas kinerja lahan tersebut. "Itu kembali lagi pertanyaan besar kita. Nilai-nilai itu sebenarnya secara scientific sudah ada. Lahan misalnya lahan hutan dengan intensitas pohon segini dan seterusnya kan bisa dihitung. Tiba-tiba muncul angka 25 juta rupiah itu pertanyaan besar," ucapnya.

Budi pun menekankan, akar persoalan sebenarnya bukan sekadar pada PP 45/2025, tetapi pada penetapan kawasan hutan yang sejak awal tidak mengikuti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam UU Kehutanan, sebelum penunjukan kawasan hutan harus ada survei sosial, ekonomi, dan penguasaan tanah masyarakat.

Namun, praktiknya penunjukan kawasan dilakukan tanpa survei menyeluruh. Akibatnya, tanah rakyat, desa, transmigrasi, hingga HGU lama ikut dimasukkan ke kawasan hutan. "Ada 30 ribu desa, bahkan tanah transmigran yang sudah bersertifikat masuk kawasan hutan. Itu bukti penetapan kawasan dilakukan serampangan," jelas Budi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement