REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum (DJKI Kemenkum) mencatat, sebanyak 296 perkara pelanggaran kekayaan intelektual (KI) terjadi dalam kurun waktu 2019 hingga 2025. Angka tersebut menunjukkan pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual masih menjadi tantangan serius.
Berdasarkan data rekapitulasi Direktorat Penegakan Hukum DJKI, pelanggaran terbanyak terjadi pada bidang merek dengan 163 kasus, diikuti hak cipta sebanyak 87 kasus, dan paten sebanyak 21 kasus. Sisanya menyangkut pelanggaran di bidang desain industri (DI), desain tata letak sirkuit terpadu (DTLST), dan rahasia dagang (RD).
Pada 2023 dan 2024 tercatat sebagai periode dengan jumlah perkara tertinggi, masing-masing mencapai 53 kasus. Sementara itu, hingga pertengahan tahun 2025, jumlah laporan pelanggaran tercatat menurun menjadi 31 kasus.
"Tingginya angka pelanggaran menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya pelindungan kekayaan intelektual masih perlu terus ditingkatkan, baik di sektor usaha maupun masyarakat luas," kata Direktur Penegakan Hukum DJKI Kemenkum, Arie Ardian dalam keterangan pers di Jakarta pada Jumat (8/8/2025).
Arie menjelaskan, seiring dengan perkembangan teknologi dan e-commerce, modus pelanggaran KI kini semakin beragam dan cenderung berpindah ke ranah digital. "DJKI tidak hanya menunggu laporan, tetapi juga aktif melakukan patroli siber dan menjalin kerja sama dengan platform digital untuk menindak pelanggaran secara preventif dan represif," ucap Arie.
Di antara upaya preventif hingga represif yang dilakukan, DJKI secara rutin menggelar sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, pelaku usaha, hingga institusi pendidikan terkait pentingnya menghargai dan melindungi kekayaan intelektual. Selain itu, DJKI telah melakukan pemusnahan barang bukti hasil pelanggaran KI dengan total nilai mencapai lebih dari Rp 5 miliar, termasuk produk tiruan dari berbagai merek terkenal.