Rabu 16 Jul 2025 11:11 WIB

Kritik Program Dedi, Perhimpunan Guru: 50 Anak Satu Kelas Sumpek Bak Penjara

Satu kelas 50 anak diniali akan membuat pengajaran jadi kontraproduktif.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Guru menyampaikan materi kepada siswa baru saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMA Budi Luhur Cimahi, Jawa Barat, Selasa (15/7/2025). Pihak sekolah menuturkan, SMA swasta ini hanya mendapatkan 11 siswa baru dalam penjaringan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025.
Foto: ANTARA FOTO/Abdan Syakura
Guru menyampaikan materi kepada siswa baru saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMA Budi Luhur Cimahi, Jawa Barat, Selasa (15/7/2025). Pihak sekolah menuturkan, SMA swasta ini hanya mendapatkan 11 siswa baru dalam penjaringan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritisi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengeluarkan peraturan mengenai Pencegahan Anak Putus Sekolah. Salah satu isi aturan itu membuat satu kelas bisa diisi oleh 50 siswa. 

Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri mengatakan, P2G memahami itikad baik Gubernur dalam upaya mengurangi anak putus sekolah di Jabar. Namun niat baik tersebut akan berdampak negatif serta kontraproduktif bagi guru dan siswa, baik dari aspek pedagogis, psikologis, maupun sosial. 

 

"Jika yang diharapkan Gubernur Jabar adalah 50 anak tiap kelas, ini sangat tidak efektif, akan berpotensi mengganggu proses dan kualitas pembelajaran di kelas," kata Iman kepada Republika, Rabu (16/7/2025). 

 

Iman menyentil aturan semacam itu malah membuat kelas layaknua penjara. Ini mengingat kapasitas ruang kelas sebenarnya didesain tak memadai hingga 50 orang. 

 

"Kelas akan terasa sumpek, seperti penjara, mengingat luas ruang kelas SMA/SMK itu hanya muat maksimal 36 murid saja," ujar Iman.

 

Iman mengungkap beberapa risiko yang akan dihadapi seperti kelas jadi pengap, suara guru tidak terdengar apalagi jika siswa berisik, kelas tidak kondusif, ruang gerak anak dan guru tidak ada, interaksi murid di kelas sangat terbatas.

 

"Sarana prasarana tidak mencukupi, dan guru tidak bisa mengkontrol kelas," lanjut Iman. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement