REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Menteri Pertahanan Israel Israel Katz mengungkapkan rencana negaranya membunuh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei selama perang 12 hari kemarin. Rencana itu gagal karena Khamanei terlindungi dengan ketat.
Katz mengatakan pada hari Kamis bahwa Israel tidak memerlukan izin dari Amerika Serikat untuk membunuh Khamenei, yang tampaknya membantah laporan media sebelumnya bahwa Washington memveto pembunuhan tersebut. “Kami ingin melenyapkan Khamenei, namun tidak ada peluang operasional,” kata Katz dalam wawancara dengan Channel 13 Israel.
Katz mengklaim bahwa Khamenei tahu bahwa ada upaya pembunuhan yang akan terjadi, dan melakukan tindakan “bawah tanah secara mendalam”, memutuskan kontak dengan para komandan yang menggantikan para pemimpin Korps Garda Revolusi Islam yang dibunuh dalam gelombang pertama serangan Israel.
Khamenei merilis pesan video selama perang, dan tidak ada bukti yang mengkonfirmasi bahwa dia terputus dari para jenderalnya. Membunuh Khamenei akan menjadi peningkatan besar dalam konflik tersebut. Selain menjadi kepala negara de facto di Iran, pemimpin tertinggi Iran juga merupakan otoritas spiritual tertinggi bagi jutaan Muslim Syiah di seluruh dunia.
Ali Khamenei kemarin mengatakan Iran “tidak akan pernah menyerah” kepada Amerika Serikat, dengan nada menantang dalam pernyataan pertamanya sejak gencatan senjata dengan Israel diberlakukan.

Khamenei mengklaim kemenangan setelah 12 hari perang, yang berpuncak pada serangan Iran terhadap pangkalan militer terbesar AS di Timur Tengah, di Qatar, setelah AS bergabung dalam serangan Israel.
“Presiden AS [Donald] Trump mengungkap kebenaran dan memperjelas bahwa Amerika tidak akan puas dengan penyerahan Iran… peristiwa seperti itu tidak akan pernah terjadi,” kata Khamenei.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump telah berulang kali menyatakan bahwa perang dapat memicu pergantian rezim, dan Presiden AS Donald Trump mengunggah di media sosial pada hari Minggu lalu bahwa konflik tersebut dapat “MEMBUAT IRAN HEBAT LAGI”.
Komentar Katz muncul di tengah laporan yang saling bertentangan mengenai tingkat kerusakan yang ditimbulkan pada kemampuan nuklir Iran, terutama akibat pemboman AS terhadap lokasi di Fordow, Natanz dan Isfahan. Khamenei mengatakan pada hari Kamis bahwa AS telah “melebih-lebihkan” dampak serangan tersebut.
Menteri Pertahanan Israel mengatakan bahwa negaranya mendapat “lampu hijau” dari Trump untuk melancarkan serangan lain terhadap Iran jika negara itu dianggap membuat “kemajuan” dalam program nuklirnya.

“Saya tidak melihat situasi di mana Iran akan memulihkan fasilitas nuklirnya setelah serangan itu,” katanya.
Sementara itu, Netanyahu mengatakan pada hari Kamis bahwa hasil perang memberikan “jendela peluang” untuk perjanjian diplomatik formal lebih lanjut dengan negara-negara Arab.
Konflik tersebut berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi AS setelah Iran membalas serangan AS dengan serangan rudal ke Pangkalan Udara Al Udeid Qatar, yang menampung pasukan AS.
"Kami telah berjuang dengan tekad melawan Iran dan meraih kemenangan besar. Kemenangan ini membuka jalan untuk memperluas perjanjian perdamaian secara dramatis," kata Netanyahu dalam pidato video, merujuk pada Perjanjian Abraham, yang menjalin hubungan resmi antara Israel dan beberapa negara Arab pada tahun 2020.
Iran juga menyatakan kemenangan setelah perang tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka menggagalkan tujuan Israel – yaitu mengakhiri program nuklir dan rudal balistik Teheran – dan berhasil memaksa Netanyahu untuk mengakhiri serangan tersebut dengan serangan rudal yang menyebabkan kehancuran luas di Israel.