Senin 16 Jun 2025 07:24 WIB

Yusril Yakin Sengketa Empat Pulau Bisa Diselesaikan Secara Adil untuk Aceh dan Sumut

Kepmendagri Tito Karnavian itu, hemat Yusril, cuma ketetapan kode-kode kewilayahan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Yusril Ihza Mahenda.
Foto: Dok Republika
Yusril Ihza Mahenda.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Undang-undang (UU) 24/1956 tentang Otonomi Provinsi Aceh, dan Perjanjian Damai antara Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki 2005, tak bisa dijadikan rujukan hukum dalam penentuan hak kewilayahan atas Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang yang kini disengketakan dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut). Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra meyakinkan permasalahan empat pulau tersebut akan diputuskan dengan seadil-adilnya bagi masyarakat Aceh, pun juga Sumut.

“Kasus empat pulau ini, Insya Allah dapat kita selesaikan dengan sebaik-baiknya sehingga tidak ada satu pihak pun yang dirugikan,” kata Yusril melalui siaran pers video di Jakarta, Ahad (15/6/2025).
 
Yusril menerangkan polemik empat pulau yang menyeret Aceh dan Sumut ke dalam persengketaan verbal, berawal dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) 300.2.2-2138/2025. mDalam Kepmendagri itu disebutkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang yang semula bagian dari Kabupaten Singkil di Aceh dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tapanuli Tengah (Tapteng) di Sumut. Namun Yusril menjelaskan, Kepmendagri terbitan 25 April 2025 itu bukan keputusan yang mengatur tentang batas-batas wilayah antara Tapteng-Sumut dengan Singkil-Aceh. 
 
Kepmendagri Tito Karnavian itu, hemat Yusril, cuma ketetapan tentang kode-kode kewilayahan terkait keberadaan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang. “Sebenarnya, sampai hari ini belum ada peraturan menteri dalam negeri yang mengatur tentang batas-batas wilayah antara Kabupaten Tapanuli Tengah di Sumatera Utara dengan Kabupaten Singkil di Aceh. Yang ada, itu adalah keputusan menteri dalam negeri mengenai pengkodean pulau-pulau itu. Itu memang ada,” ujar Yusril.
 
Menurut Yusril, kode-kode kewilayahan atas empat pulau itu bukan keputusan tentang otoritas mana yang berhak mengeklaim kepemilikan. Meskipun Yusril mengungkapkan, memang pihak dari Pemprov Sumut yang mula-mula mengajukan kode-kode kewilayahan empat pulau itu ke Kemendagri.
 
Dan menurut Yusril, kode-kode kewilayahan empat pulau itu letak geografisnya memang lebih dekat ke Tapteng-Sumut. Meskipun begitu, kata Yusril menerangkan, dalam penentuan hak atas kewilayahan, kedekatan geografis bukan satu-satunya penentu. 
 
“Bahwa penentuan kode-kode pulau itu memang menunjukkan bahwa pulau-pulau itu secara geografis lebih dekat kepada Tapanuli Tengah dibandingkan dengan Kabupaten Singkil. Tetapi kita mengetahui, bahwa kedekatan georafis itu bukan satu-satunya dasar untuk menetapkan sebuah pulau itu masuk ke dalam wilayah kabupaten, atau provinsi mana,” kata Yusril.
 
Pun aspek non-geografis itu juga digunakan dalam penentuan hak kewilayahan suatu pulau antar negara-negara. Ia mencontohkan, dalam posisi Pulau Natuna yang lebih dekat ke Serawak-Malaysia, tetapi klaim kewilayahannya diakui internasional dalam teritorial Indonesia.
 
Pun kata Yusril, posisi Pulau Mianggas, di Sulawesi Utara (Sulut) yang letak geografisnya lebih dekat ke Kepuluan Mindanao wilayah Filipina. Tetapi Pulau Mianggas itu sejak lama diakui internasional bagian dari kedaulatan Indonesia melalui kemenangan Belanda dalam Washington Arbitrase melawan Spanyol, dan Amerika Serikat (AS) pada 1906. Kemerdekaan dari Belanda otomatis membuat Pulau Mianggas menjadi teritorial kedaulatan Indonesia. Pun sebaliknya, kata Yusril, Pulau Pasir yang lebih dekat dengan Nusa Tenggara Timur (NTT), tetapi sejak 1878 diakui sebagai teritorial Inggris yang selanjutnya hingga kini, masuk dalam wilayah Australia.    
 
“Jadi memang ada faktor-faktor lain yang menentukan. Faktor sejarah, faktor budaya, faktor penempatan suku-suku, dan lain-lain atas wilayah itu yang menjadi pertimbangan dalam menentukan dan memutuskan pulau-pulau itu masuk ke dalam wilayah mana,” ujar Yusil.
 
Klaim atas hak kewilayahan suatu daerah di Indonesia, kata Yusril melanjutkan, harus melalui UU Pemerintahan Daerah, yang diteruskan dengan penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
 
“Jadi masih terbuka kesempatan untuk kita mengkaji semua masalah ini, untuk kita musyawarahkan, untuk kita mencari satu penyelesaian yang paling baik terhadap permasalahan ini,” ujar Yusril.
 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement