REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sandy Rizki Febriadi, dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung
Tren fintech syariah tengah melonjak di Indonesia. Hal ini ditandai maraknya platform pembayaran digital, layanan pembiayaan online, hingga investasi halal. Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) mencatat pertumbuhan industri ini sekitar 130 persen pada 2021 dan 180 persen pada 2022.
Namun, pertumbuhan yang pesat ini membawa tantangan literasi dan pemahaman prinsip syariah di masyarakat harus terus ditingkatkan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan tingkat literasi keuangan syariah pada 2019 hanya 9 persen, meski terjadi juga peningkatan menjadi 39 persen di 2023. Artinya, banyak pengguna yang berisiko memakai produk finansial digital tanpa memahami aspek syariahnya.
Rendahnya pemahaman dapat berujung pada praktik tidak syar’i tanpa kita sadari. Contohnya, perdebatan apakah cashback dan diskon e-wallet tergolong riba sempat viral di media sosial.
Menanggapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sampai mengeluarkan fatwa bahwa uang elektronik (e-money) boleh digunakan asal memenuhi syarat tertentu. Kasus tersebut menunjukkan literasi syariah di era fintech sangat krusial, inovasi digital yang memudahkan terkadang bisa menjadi jebakan pelanggaran nilai Islam bila pengguna tidak bijak memahami aturannya.
Prinsip Syariah sebagai Fondasi Keluarga dan Muamalah
Literasi syariah berarti memahami nilai-nilai Islam dalam keseharian, baik di lingkup keluarga maupun muamalah (hubungan sosial-ekonomi). Dalam keuangan Islam, ada prinsip-prinsip utama seperti larangan riba (bunga), gharar (ketidakjelasan), dan maysir (perjudian), serta dzulm (kesewenang-wenangan).
Prinsip-prinsip ini harus menjadi pegangan saat memakai produk fintech. Keluarga yang mengambil pembiayaan rumah via aplikasi, misalnya, perlu memastikan skema akadnya halal, menggunakan akad murabahah (jual beli dengan margin) atau ijarah muntahiyah bit tamlik (sewa beli) ketimbang terjebak pinjaman berbunga.
Dengan literasi syariah yang baik, masyarakat akan lebih cermat membaca akad dan fitur produk digital. Kemudahan fintech tidak boleh mengorbankan kehalalan: transparansi dan keadilan transaksi, tanpa merugikan pihak mana pun. Literasi yang kuat membuat pengguna percaya diri memanfaatkan fintech syariah sehingga ekosistem ekonomi halal tumbuh subur. Sebaliknya, tanpa fondasi literasi, keluarga Muslim rentan tergoda promo menggiurkan dari aplikasi keuangan yang belum tentu halal.
Peran Pendidikan di Era Fintech
Meningkatkan literasi syariah membutuhkan edukasi yang terpadu. OJK menekankan pentingnya peningkatan kompetensi SDM keuangan syariah untuk menjawab tantangan zaman. Artinya, kita perlu lebih banyak ahli yang menguasai fikih muamalah sekaligus paham teknologi keuangan. Menempuh pendidikan formal di bidang ini adalah investasi jangka panjang, baik untuk karier pribadi maupun kemaslahatan umat.
Sebagai pionir pendidikan syariah, Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (Unisba) patut menjadi rujukan. Fakultas Syariah Unisba, berdiri sejak 1958 sarat dengan pengalaman panjang melahirkan sarjana syariah unggul.
Kurikulumnya adaptif, menjembatani nilai Islam dan hukum kontemporer, serta membekali mahasiswa dengan kompetensi praktis melalui program KKL, simulasi dan magang. Lulusannya berkiprah luas baik sebagai praktisi perbankan dan asuransi syariah, pengelola zakat-wakaf, maupun konsultan industri halal.
Literasi syariah ibarat pondasi rumah: tidak tampak mencolok, tetapi menentukan kokohnya bangunan kehidupan. Menghadapi maraknya fintech syariah, kini saatnya setiap keluarga memperkuat pondasi tersebut. Dengan pendidikan dan kesadaran kolektif, kita dapat memastikan inovasi finansial digital berjalan seiring prinsip-prinsip syariah, menjadikan kemajuan teknologi sebagai jalan menuju keberkahan dan kesejahteraan yang diridai.