Sabtu 31 May 2025 18:24 WIB

Tembakau dan Kolonialisme

Salah satu komoditas ekspor yang wajib ditanam oleh rakyat terjajah adalah tembakau.

ILUSTRASI Rokok
Foto: republika wihdan
ILUSTRASI Rokok

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Indonesia adalah surga luar biasa ramah bagi perokok," demikian petikan sajak karya Taufiq Ismail yang berjudul "Tuhan Sembilan Senti."

Di mana-mana di republik ini, Anda dapat dengan mudah menemukan rokok, gulungan tembakau yang bagi sebagian orang adalah nikmat, tetapi bagi kebanyakan lainnya adalah laknat.

Baca Juga

Bila melihat pada sejarah, tembakau bukanlah tanaman asli dari bumi Nusantara. Ia berasal dari Benua Amerika. Bangsa Eropa pertama kali mengenalnya sejak pengelana Christopher Columbus (1451–1506) mendarat di pulau yang kini dinamakan Kuba. Pelaut Italia itu menyaksikan orang-orang lokal mengisap asap dari gulungan daun tembakau kering yang dibakar.

Tembakau pertama kali masuk ke Indonesia ketika dibawa oleh pelaut Belanda, Cornelis de Houtman (1565-1599) yang berlabuh di bandar Kesultanan Banten pada 1596. Kira-kira 10 tahun sejak kedatangannya, tembakau mulai menjadi komoditas yang terkenal di wilayah kerajaan Islam tersebut.

De Houtman memang dapat diusir oleh raja Banten, bahkan wong londo ini kemudian tewas di tangan laksamana Aceh, Keumala Hayati. Belajar dari pengalaman pahit itu, para pelaut Belanda tidak seketika bertindak konfrontatif dalam menghadapi penguasa lokal di Nusantara, khususnya Pulau Jawa.

Pada 20 Maret 1602, terbentuklah Kongsi Dagang Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) atau yang biasa disebut Kompeni. Pembentukan VOC dapat dikatakan "terinspirasi" dari East India Company (EIC), kongsi dagang bentukan rival Belanda, Britania Raya.

Setelah nyaris dua abad berdiri, VOC bangkrut pada 31 Desember 1799. Sejak itu, daerah-daerah jajahan Kompeni di Nusantara kemudian berada di bawah kendali langsung Kerajaan Negeri Belanda, yang diwakili gubernur jenderal (gubjen) Hindia Belanda.

Pada masa gubjen Johannes van den Bosch (1780 –1844), pemerintah kolonial memberlakukan sistem tanam paksa alias cultuurstelsel. Penguasa mewajibkan setiap desa menyisihkan sekira 20 persen tanahnya untuk ditanami tanaman komoditas ekspor.

Salah satu komoditas ekspor yang wajib ditanam oleh rakyat adalah tembakau. Sebab, tanaman itu dinilai oleh pemerintah kolonial memiliki harga yang tinggi di pasar-pasar Eropa.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Di Sumatra timur, perkebunan tembakau kian masif sejak pengusaha Belanda, Jacob Nienhuis, datang pada 1865. Ia berhasil menjual tak kurang dari 189 bundel daun tembakau Deli berkualitas tinggi ke pasar-pasar Eropa dengan harga fantastis. Pebisnis itu merupakan pendiri perusahaan Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) bersama dengan kawan-kawannya, yakni Janssen dan Clemen pada 1 November 1869. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement