REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rabiatul Adwiyah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNISBA
Wacana menempatkan siswa bermasalah ke barak militer sebagai bentuk pembinaan kembali muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap kenakalan remaja. Meski tampak menjanjikan dari sisi kedisiplinan, pendekatan ini menyimpan dilema besar: apakah ini benar-benar pendidikan karakter, atau justru hukuman bergaya militer yang menyamar?
Disiplin Militer: Obat Mujarab atau Penawar Sesaat?
Di atas kertas, metode militer memang terlihat menjanjikan. Kedisiplinan, struktur, dan rasa hormat kepada otoritas adalah nilai-nilai yang mulai terkikis di sebagian kalangan remaja. Tak heran bila banyak pihak mendukung gagasan ini, menganggap bahwa ketegasan adalah kunci.
Namun, benarkah demikian? Menurut Prof. Arie Sudjito, sosiolog Universitas Gadjah Mada, masalah remaja seharusnya tidak disederhanakan hanya sebagai bentuk pembangkangan. "Harus dilihat secara sosiologis: kenapa mereka nakal? Apakah karena sistem sosial di sekitar mereka tidak mendukung tumbuh kembang yang sehat?" (Kompas, 2023).
Remaja Bukan Tentara Muda Yang perlu dipahami: siswa yang nakal bukanlah tentara yang harus "ditempa." Mereka adalah remaja yang berada dalam masa pencarian jati diri. Banyak dari mereka mengalami tekanan psikologis, kekerasan di rumah, atau bahkan gangguan emosional yang tak terlihat.
Dr. Seto Mulyadi, psikolog anak, pernah menekankan bahwa “anak-anak yang dianggap nakal bukan untuk dihukum, tapi dipahami. Pendekatan kekerasan hanya akan menambah luka batin.” (CNN Indonesia, 2021)
Jika pelatihan militer dilakukan tanpa pendekatan psikososial, tanpa konseling, tanpa dukungan emosional, maka program ini hanya akan menjadi penjara dalam bentuk lain.
Pendidikan Karakter Butuh Empati, Bukan Intimidasi
Pendidikan karakter seharusnya dibangun atas dasar hubungan, keteladanan, dan lingkungan yang aman. Bila ingin mengadopsi sistem pelatihan militer, maka harus dilakukan secara humanistik, dengan:
a) Pendampingan psikologis dan konselor.
b) Kegiatan pembinaan yang membangun kepercayaan diri.
c) Evaluasi ketat agar tidak ada unsur kekerasan atau pelecehan.
d) Keterlibatan orang tua dalam proses perubahan.
Model ini sebenarnya telah diterapkan di beberapa negara dengan konsep therapeutic boot camp, yang berfokus pada penyembuhan trauma dan pembinaan moral secara berkelanjutan.
Menghindari Blunder Kebijakan
Jika negara ingin serius membina remaja, maka investasi terbesar bukan pada barak, tetapi pada sistem sekolah dan keluarga. Kenakalan remaja bukanlah masalah satu orang anak, tapi cermin dari sistem yang gagal memahami dan mendampingi tumbuh kembangnya.
Jika barak hanya menjadi tempat "pembuangan" siswa nakal, maka itu adalah bentuk kegagalan struktural. Namun jika dijadikan bagian dari pendekatan edukatif, dengan nilai kemanusiaan dan pembinaan karakter sejati, maka itu bisa menjadi langkah inovatif dengan catatan: bukan hukuman, tapi pembinaan yang memanusiakan.
"Pendidikan bukan untuk menghukum anak, tapi untuk membentuk manusia."
— Ki Hadjar Dewantara