REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dinilai sebagai langkah positif pemerintah dalam memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit. Selain itu, pemerintah diharapkan membuat satu peta kehutanan yang bisa menjadi dasar pembuatan kebijakan secara nasional.
Pakar hukum kehutanan Dr Sadino menyatakan, tanpa satu peta nasional, regulasi tersebut justru berisiko menimbulkan ketidakpastian hukum yang ujungnya akan mengganggu iklim investasi. "Kalau bicara tata kelola, ya memang harus dibenahi. Tapi jangan keluar dari aturan main yang sudah ada. Kita sudah punya UU Perkebunan, UU Kehutanan, dan regulasi lain," ujarnya dalam forum group discussion (FGD) di Universitas Pancasila, Jakarta Selatan, Rabu (7/5/2025).
Sadino menyebut, tata kelola kebun sawit dan kawasan hutan yang tidak dibarengi dengan kepastian hukum justru dapat menimbulkan keraguan di kalangan pelaku usaha dan menghambat investasi. Dia menyoroti, salah satu akar persoalan utama adalah ketidaksinkronan data antarlembaga pemerintah.
"Hari ini, Kehutanan punya peta sendiri, ATR/BPN punya peta sendiri, Pertambangan, hingga Pertahanan juga punya peta masing-masing. Ini kan membingungkan. Yang mana yang jadi dasar untuk negara?" kata Sadino dalam diskusi bertajuk "Kajian Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan: Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan" tersebut.
Menurut Sadino, perlunya satu peta nasional sebagai referensi utama kebijakan lintas sektor. Tanpa satu peta yang disepakati bersama, sambung dia, terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan ketidakpastian hukum, terutama terkait status kawasan hutan dan hak atas tanah.
"Contoh konkret, ada HGB yang dikeluarkan oleh ATR/BPN, tapi tidak diakui oleh Kementerian Kehutanan karena lahannya masuk dalam kawasan hutan versi mereka. Padahal, HGB itu produk negara juga. Ini kan kontradiktif," kata dosen Universitas Al Azhar Indonesia tersebut.
Dia juga mengungkap, data milik Kementerian Kehutanan menunjukkan 31,8 juta hektare kawasan hutan yang sudah tidak berhutan, namun belum dimanfaatkan secara produktif. Di sisi lain, hanya 3,3 juta hektare lahan sawit yang masuk kawasan hutan menjadi sorotan.
"Singapura luasnya berapa? Kita punya 31,8 juta hektare lahan nganggur (kawasan hutan tak berhutan) tapi tidak dipakai. Padahal kita butuh lapangan kerja, butuh investasi. Kenapa tidak dimanfaatkan saja secara legal dan benar?" ujar Sadino.