REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pascapenerapan kebijakan tarif resiprokal yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald John Trump, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendorong pemerintah Indonesia berpihak kepada petani sawit. Caranya dengan menurunkan besaran pajak ekspor dan pungutan ekspor sawit hingga nol persen.
Pasalnya, kenaikan pajak impor di negara tujuan ekspor sawit akan berdampak terhadap turunnya harga jual hasil panen petani sawit. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pun mendorong pemerintah Indonesia menurunkan besaran bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE) CPO dan produk turunannya (Dana BPDPKS) menjadi nol persen.
Ketua Umum SPKS, Sabarudin menilai, keberadaan besaran BK dan PE dapat berakibat langsung terhadap turunnya daya saing industri minyak sawit dan produk turunannya asal Indonesia di pasar global secara keseluruhan. Menurut diak keberadaan BK dan PE akan memperberat kondisi ekonomi perkebunan kelapa sawit milik petani.
"Sebaiknya, pemerintah Indonesia menjaga dan melindungi industri minyak sawit dan produk turunannya secara holistik, sehingga tetap memiliki daya saing kuat sebagai primadona pasar minyak nabati dunia," kata Sabarudin di Jakarta, Kamis (10/4/2025).
Menurut dia, dampak pajak impor 32 persen yang diterapkan AS, meski kini ditunda, untuk Indinesia sangat memberatkan perekonomian. Kondisi itu juga menggambarkan akan adanya gelombang badai ekonomi global akibat penerapan tarif dagang tinggi yang dilakukan Presiden Trump secara sepihak.
"Perdagangan global akan menimbulkan badai ekonomi baru, sebagai reaksi dari pemberlakuan tarif dagang Amerika Serikat yang tinggi hingga 32 persen. Kondisi perdagangan dunia bakal mendapat berbagai distorsi baru akibat dampak samping yang ditimbulkan," ujar Sabarudin.
Akibatnya, sambung dia, dampak langsung akan dirasakan petani kelapa sawit di Indonesia. Hal itu karena hasil panen berupa Tandan Buah Segar (TBS) sawit akan pula terdampak harga jualnya. Pasalnya, berdasarkan hukum ekonomi pasar, setiap beban baru yang dikenakan, akan terus terdistribusi hingga mata rantai yang paling lemah.
"Posisi paling lemah sepanjang mata rantai produksi minyak sawit secara umum berada di pihak petani kelapa sawit," jelas Sabarudin.
Sebab itu, SPKS meminta kepada pemerintahan Presiden Prabowo untuk menurunkan BK dan PE terhadap CPO dan produk turunannya menjadi nol persen. "Kondisi perdagangan dunia, selama ini selalu berdiskusi mengenai hambatan perdagangan seperti tarif dan nontarif. Tapi dengan adanya penerapan tarif dagang baru yang sangat besar, seolah-olah meniadakan semua perundingan dagang yang telah dilakukan selama ini," ucap Sabarudin.