REPUBLIKA.CO.ID, RABAT – Ratusan ribu warga turun ke jalan-jalan di kota-kota besar di Timur Tengah beberapa hari belakangan. Mereka menyatakan kegeraman atas terus berlangsungnya genosida di Jalur Gaza dan sikap pemerintah mereka sendiri.
Associated Press melansir, pada Ahad, puluhan ribu warga Maroko memprotes serangan terbaru Israel di Gaza. Mereka menjadikan kemarahan terhadap Presiden AS Donald Trump sebagai pusat dari keluhan mereka.
Dalam protes terbesar yang terjadi di Maroko dalam beberapa bulan terakhir, para demonstran mengecam Israel, Amerika Serikat, dan pemerintah mereka sendiri. Beberapa diantaranya menginjak bendera Israel, memegang spanduk yang menunjukkan para pemimpin Hamas yang terbunuh, dan melambaikan poster yang menampilkan Trump di samping pengungsi Palestina yang meninggalkan rumah mereka.
Penyelenggara mengutuk operasi militer Israel yang sedang berlangsung di Gaza. Ratusan warga Palestina telah terbunuh sejak Israel kembali melakukan serangan udara dan darat bulan lalu, yang bertujuan untuk menekan Hamas agar melepaskan sandera yang tersisa.
Protes semacam ini telah terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara, dimana para pemimpinnya biasanya khawatir demonstrasi tersebut akan merusak stabilitas dalam negeri. Unjuk rasa pro-Palestina juga terjadi akhir pekan ini di ibu kota Tunisia dan Yaman serta di kota terpadat di Maroko, Casablanca.

Di negara-negara yang secara historis bersekutu dengan AS, reaksi anti-Trump telah menjadi sebuah tema. Para pengunjuk rasa di Rabat pada hari Minggu mengecam usulannya untuk menggusur jutaan warga Palestina guna membuka jalan bagi pembangunan kembali Gaza serta upaya AS untuk mengejar aktivis pro-Palestina.
Mohammed Toussi, yang melakukan perjalanan dari Casablanca bersama keluarganya untuk melakukan protes mengatakan pengunjuk rasa marah atas keputusan Maroko pada 2020 yang menormalisasi hubungan dengan Israel. Abdelhak El Arabi, penasihat mantan perdana menteri Islam Maroko, mengatakan alasan warga Maroko melakukan protes semakin meningkat selama perang. Dia memperkirakan kemarahan rakyat akan terus berlanjut hingga perang berakhir.
“Ini bukan perang, Gaza sedang terhapus dari muka bumi,” kata warga Tamesna berusia 62 tahun itu. Demonstrasi melibatkan berbagai kelompok, termasuk asosiasi Islam al Adl Wal Ihsan. Pihak berwenang Maroko mentolerir sebagian besar protes, namun telah menangkap beberapa aktivis yang berunjuk rasa di depan perusahaan atau kedutaan asing atau melibatkan monarki dalam pengaduan mereka.
Semantara pada Senin, ibu kota Tunisia dan berbagai provinsi di Republik tersebut menyaksikan demonstrasi besar-besaran yang mengecam agresi Israel yang sedang berlangsung terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Menurut Kantor Berita WAFA Palestina, demonstrasi ini dilakukan sebagai tanggapan atas seruan beberapa organisasi dan asosiasi masyarakat sipil, serikat pekerja, dan serikat mahasiswa, dan sebagai bagian dari Hari Solidaritas dengan Rakyat Palestina.

Persatuan Umum Mahasiswa Tunisia juga menyerukan unjuk rasa tersebut, dengan partisipasi luas dari mahasiswa universitas dan institut dari seluruh negeri. Pawai dimulai di depan institut dan universitas di seluruh Tunisia, terkonsentrasi di Habib Bourguiba Avenue di depan Teater Kota di pusat kota Tunis. Slogan-slogan dilantunkan untuk mendukung Palestina, mengecam sikap internasional yang diam menghadapi pembantaian yang sedang berlangsung.
The New Arab melaporkan, solidaritas terhadap Palestina telah lama menjadi wacana publik di Tunisia, namun perang yang tak henti-hentinya di Gaza telah memperdalam kemarahan yang lebih luas terhadap Amerika Serikat, yang tidak lagi hanya bersifat retoris.
Selama akhir pekan, slogan-slogan berkisar dari “Tidak ada kedutaan AS di tanah Tunisia” hingga “Perlawanan, perlawanan, tidak ada perdamaian, tidak ada kompromi.” Protes ini dipelopori oleh koalisi kelompok masyarakat sipil yang berkembang, terutama Jaringan Tunisia untuk Melawan Normalisasi, sebuah gerakan akar rumput yang menentang hubungan diplomatik dengan Israel.

Pada November 2023, Parlemen hampir mengeluarkan regulasi mengkriminalisasi normalisasi hubungan dengan Israel. Namun RUU tersebut tiba-tiba ditarik setelah Presiden Kais Saied, yang menyatakan dirinya sebagai penentang keras Zionisme. Dia mengutip “konsekuensi negatif bagi keamanan dan kepentingan eksternal Tunisia” yang merupakan pengakuan publik yang jarang dilakukan Saied atas tekanan asing.
Di Tunisia, hak untuk melakukan protes juga terancam. Pada Oktober 2024, polisi mengancam akan melarang demonstrasi pro-Palestina di sepanjang Avenue Bourguiba, arteri protes ikonik di Tunis. Beberapa aktivis ditangkap dan diselidiki atas tuduhan terorisme.