REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang ikut mengkritik proses pembahasan revisi UU TNI. Pembahasan yang dilakukan hotel mewah dan terkesan tertutup, dinilai menjadi indikasi adanya sesuatu yang disembunyikan dari perubahan pasal dalam rancangan UU tersebut.
“Terlepas dari manfaat yang dikatakan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bahwa revisi UU TNI diperlukan untuk menghadapi dinamika geopolitik, kompleksitas ancaman, dan perkembangan teknologi militer global. Kami rasa RUU (TNI) ini akan berpotensi mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia melalui potensi pengembalian dwifungsi TNI melalui perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif,” ujar Prima Gandhi, Ketua Umum PPI Jepang, di Tokyo, dalam keterangannya, Ahad (16/3/2025).
Gandhi menegaskan, PPI Jepang sebagai organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Jepang, negara demokrasi yang menganut sistem pemerintahan parlementer, mendukung KontraS dan Koalisi Masyarakat Kritisi Proses Legislasi Revisi UU TNI.
“Bila demokrasi dan penegakan HAM tidak terjamin di Tanah Air, kami mengkhawatirkan mahasiswa Indonesia yang sedang melanjutkan studinya di luar negari khususnya di negara-negara yang menjujung tinggi nilai demokrasi, ketika lulus nanti enggan balik ke Indonesia bahkan pindah warga negara (brain drain). Padahal Indonesia membutuhkan mereka untuk membangun bangsa,” ucap pria yang sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Tokyo University of Agriculture ini.
PPI Jepang menuntut agar pemerintah dan DPR membuat naskah akademis terkait urgensi revisi UU TNI. Jika sudah dibuat, kata Prima, berikan ruang kepada publik untuk mengkaji naskah akademis tersebut. Hal ini dibutuhkan untuk menunjukkan komitmen pemerintah terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi.