Ahad 09 Feb 2025 09:58 WIB

AI Hanyalah Alat Bantu, Bukan Jurnalis

Oleh: Prof Dr Septiawan Santana K. M.Si, Guru Besar Ilmu Komunikasi Fikom Unisba

Pengamat Komunikasi Politik yang juga Guru Besar Fikom Unisba Prof. Dr. Septiawan Santana K M.Si
Foto: Istimewa
Pengamat Komunikasi Politik yang juga Guru Besar Fikom Unisba Prof. Dr. Septiawan Santana K M.Si

REPUBLIKA.CO.ID, Generative AI (perangkat AI Generatif) kini telah hadir di ruang-ruang kerja jurnalisme. Dalam peringatan Hari Pers Nasional 2025 ini, isu AI masih menjadi topik yang paling relevan di dunia jurnalisme.

Saat ini ChatGPT, DALL-E, dan Stable Diffusion telah digunakan untuk menghasilkan teks, audio, video, dan lainnya dalam proses kerja jurnalisme. Kemampuan perangkat teknologi ini ada pada kemampuan memproses dan membuat teks.

Kehadiran AI sebenarnya telah ada selama beberapa dekade. Kelanjutan dari teknologi ‘mesin pembuat berita’, yang dinamakan robot journalism, yang mengolah Natural Language Generation menjadi mesin pemberitaan otomatis melalui kombinasi format frasa standar dan statistik. Misalnya di dalam laporan pertandingan olah raga.

Namun, teknologi AI memberi tantangan baru, yakni di dalam kegiatan memproduksi dan mendistribusi informasi pada ekosistim berita. Generative AI menjadi sebuah teknologi di dalam membuat konten-konten informasi, seperti teks, gambar, audio, video, atau media lain. Perangkat AI dapat digunakan untuk melakukan berbagai tugas pelaporan berita, dari pengumpulan sampai produksi, verifikasi dan distribusi berita.

Manfaat dan Baik-Buruknya AI

Temuan ini mengungkap tiga bahaya dan dua kemungkinan saat memajukan pemahaman kita tentang pertimbangan etika AI di sejumlah media seperti NRC, NOS , dan Berlingske Media. Sebagai alat, AI generatif dapat berkontribusi pada efisiensi dan skalabilitas proses kerja. AI memberi menjadi sarana untuk mencari bahan-bahan yang bersifat orisinal, kreatif, dan berbeda.

AI dapat mengurangi waktu yang dihabiskan untuk tugas-tugas rutin di dalam kegiatan perusahaan berita atau penerbitan. AI menjadi sepersis sekretaris pribadi yang dapat membantu untuk memberi saran, bahkan melakukan perbaikan, secara cepat.

Di balik manfaatnya, AI juga berdampak pada mutu pemberitaan. Alat AI dapat terlalu menyederhanakan persoalan bagi berbagai isu krusial yang kompleks permasalahannya. Teknologi AI kerap bersifat ‘ringkasan’ yang berpeluang menghilangkan beberapa hal yang layak dan penting untuk diberitakan.

AI kurang memberi relevansi yang layak yang bisa mengurangi pemahaman masyarakat terhadap sebuah persoalan publik. Data-data AI bisa terjebak dengan stereotip, menjadi sumber informasi yang kurang valid, serta ketiadaan pemahaman yang menyeluruh.

Ketika jurnalis salah memahami topik berita, salah membuat premis, malas mengecek yang didapatnya, tidak mampu menunjukkan kata kunci yang tepat dan menyeluruh, maka dengan meminta bantuan AI akan berpeluang melahirkan karya yang ‘sesat’.

Akibatnya, akan bisa berdampak pada kesalahan penyajian realitas, yang dapat menyesatkan pembaca atau pemirsa, dan menyebarkan informasi (berita) yang tidak akurat, serta menyebabkan kerusakan reputasi.

Oleh karena itu, akurasi yang dihasilkan AI mesti disimak, diteliti, divalidasi, dan diverivikasi lagi. Bila tidak, AI bukan lagi diperlakukan sebagai teknologi dan alat bantu pekerjaan jurnalistik, tetapi malah dijadikan jurnalis itu sendiri.

Dari sanalah, kemudian kita kehilangan jurnalisme. Jurnalisme kehilangan kendali otonomi kejurnalistikan. Jurnalisme kehilangan ruh profesinya, sebagai pencari dan pelapor kebenaran. Jurnalisme berada dalam ketergantungan yang berlebihan pada AI.

Produk jurnalisme berisi dengan berbagai konten yang homogen, yang tidak memiliki kreativitas individu kewartawanan, kurang berinovasi dan mencoba pendekatan baru, dan mengakibatkan berkurangnya pemikiran kritis. Lebih dari itu, ketergantungan berpikir pada AI akan mengakibatkkan jurnalis tidak terlibat secara mendalam dengan pokok bahasan atau isu-isu penting.

Etika Jurnalisme dalam Praktik AI

Jurnalisme harus tetap menjadi bidang profesi yang mengutamakan kebenaran. Berbagai teknologi yang menghampiri jurnalisme, ialah alat untuk membantu dalam memproduksi dan menambah kebenaran.

Dan pada akhirnya, hal itu berarti untuk meningkatkan mutu kehidupan pers Indonesia di dalam turut serta memajukan masyarakat, mendorong perikehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik. Untuk itu, jurnalisme menerapkan nilai-nilai etis di dalam pekerjaannya.

Etika jurnalisme dipakai sebagai alat penjaga kebenaran jurnalisme. Dimensi etika berada di persimpangan AI generatif dan praktik jurnalistik dalam lanskap media kontemporer. Etika jurnalisme menjaga bagaimana AI generatif dapat mengurangi atau memperburuk bias, memastikan bahwa suara-suara yang beragam terwakili secara adil dalam liputan media.

Selain itu, menjaga potensi konflik kepentingan dan saling ketergantungan antara pengembang AI dan organisasi media diteliti, memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak mengorbankan independensi atau integritas jurnalistik. Maka, cerdas dan bijaklah dalam memanfaatkan AI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement