Kamis 06 Feb 2025 20:48 WIB

Benarkah OPM di Balik Penolakan Makan Gratis di Papua?

Penolakan MBG di Papua cerminan ketidakpercayaan pada pemerintah pusat.

Pelajar menerima paket makanan Makan Bergizi Gratis di SD Santo Michael Bilogae, Distrik Sugapa, Kabupaten Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah, Senin (20/1/2025).
Foto: Dok Kogabwilhan III
Pelajar menerima paket makanan Makan Bergizi Gratis di SD Santo Michael Bilogae, Distrik Sugapa, Kabupaten Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah, Senin (20/1/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, YAHUKIMO – Terjadi penolakan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah wilayah di Papua yang viral di media sosial belakangan. Apa akar dari penolakan tersebut? Benarkah tudingan dari Istana Negara bahwa aksi itu didorong gerakan separatis Papua?

Dalam video yang diterima Republika, tampak ratusan pelajar melakukan aksi unjuk rasa di Yahukimo, Papua Pegunungan. Unjuk rasa itu dihadapi oleh pejabat pemda setempat dan aparat kepolisian.

Baca Juga

Dalam seruannya, orator pada unjuk rasa tersebut memprotes bahwa sekolah seharusnya mengutamakan pendidikan. “Sekolah bukan warung makan.” ujar salah satu pengunjuk rasa. Dalam spanduk yang dibentangkan, tertulis bahwa aksi unjuk rasa dilakukan “Aliansi Pelajar Yahukimo”. Ada juga bentangan spanduk dengan tulisan “Makan Gratis, mati Gratis”.

Orator dalam aksi itu juga menuntut perbaikan pendidikan di pegunungan Papua terlebih dulu sebelum program MBG dijalankan. Bukan rahasia, kualitas sekolah-sekolah di kebanyakan wilayah di Papua pedalaman jauh tertinggal dengan sekolah-sekolah di wilayah lain di Indonesia.

Peneliti ahli utama Pusat Riset Kewilayahan BRIN, Cahyo Pamungkas menilai, penolakan program MBG ini tak lepas dari ingatan kolektif warga Papua, utamanya di wilayah pegunungan. “Kalau kita lihat ini bentuk ekspresi ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat yang selama ini tidak mendengar aspirasi mereka,” ujar akademisi yang sudah 20 tahun meneliti soal konflik di Papua tersebut.

“Pemikiran sederhananya, apapun kebijakan harus dibicarakan dengan masyarakat Papua. Ini program Jakarta yang belum diterima karena bersifat top down, orang Papua tidak dilibatkan. Seolah-olah program ini menjadikan mereka objek.”

Ia menuturkan, program makan gratis juga memantik kecurigaan soal konstruksi sosial yang merugikan warga Papua. Cahyo menjelaskan, pada masa lalu orang papua hidup berladang dengan menanam umbi-umbian dan makan sagu. Pada masa lalu, mereka tidak pernah kelaparan.

Justru belakangan terjadi, misalnya kelaparan di Lanny Jaya beberapa waktu lalu. Kelaparan-kelaparan di Papua tak lepas dari pengenalan makan beras dari bagian barat Indonesia. Ketergantungan terhadap beras itu bisa berakibat fatal karena pasokannya tak ada di Papua melainkan harus didatangkan dari luar pulau. “Ada perubahan kultur yang membuat kelaparan. Mereka dipaksa makan beras,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya penolakan terhadap MBG juga bisa jadi karena pelaksana program tersebut di wilayah pegunungan Papua adalah TNI. “Ada memoria passionis, ingatan kolektif yang tak tertulis mengenai penderitaan masa lalu yang jadi inspirasi masa sekarang. Ada ketakutan terhadap aparat keamanan,” kata dia.

Terkait hal itu, ia menyarankan program MBG di Papua melibatkan masyarakat sipil. Terutama gereja, masyarakat adat, organisasi perempuan, serta UMKM di Papua. “Akan bermanfaat kalau program ini melibatkan masyarakat sipil.”

photo
Prajurit TNI membagikan makanan untuk program Makan Bergizi Gratis di Distrik Sugapa, Kabupaten Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah, Senin (20/1/2025). - (Dok Kogabwilhan III)

Ia juga menyayangkan komentar dari Istana Negara bahwa penolak program MBG ini dari kelompok separatis bersenjata. “Ini menimbulkan konflik. Stigmatisasi bahwa semua yang berbeda pendapat dengan pemerintah dibilang OPM ini tidak simpati dengan masyarakat papua dan memperkuat ketidakpercayaan.”

Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Sebby Sambom menyangkal pihaknya terlibat dalam penolakan program MBG di Papua. “Aksi penolakan makan bergizi gratis yang dilakukan adalah murni dari pelajar, tanpa dibekingi keterlibatan pihak yang lain termasuk OPM yang dituduhkan oleh kepala kantor komunikasi kepresidenan Hasan Nasbi,” kata dia kepada Republika

Namun demikian, Victor Yeimo, juru bicara Kongres Nasional Papua Barat (KNPB), mengaitkan juga program makan bergizi gratis ini dengan penjajahan. Tak seperti TPNPB yang angkat senjata, KNPB memperjuangkan referendum ulang di Papua dengan aksi damai.

“Mengenai makanan gratis adalah sebuah program penjajah di belahan muka bumi. Penjajah di berbagai belahan dunia telah menggunakan makanan sebagai senjata untuk membunuh, melemahkan, dan menundukkan bangsa yang mereka jajah,” tulisnya dalam keterangan yang diperoleh Republika.

photo
Murid-murid sekolah dasar antri menunggu giliran untuk menyantap menu makan bergizi gratis perdana serta distribusinya kepada pelajar di SD Santo Michael Bilogae, Distrik Sugapa, Kabupaten Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah, Senin (20/1/2025). - (Dok Kogabwilhan III)

Ia menyinggung berbagai program makan gratis di sekolah-sekolah yang dilakukan kolonial di Kanada, Irak, Afrika Selatan, dan Afghanistan di masa lalu. “Sejarah-sejarah di atas mengajarkan bahwa penjajah tidak pernah memberi makan tanpa tujuan. Anak-anak sekolah juga menjadi target karena mereka adalah masa depan dari bangsa yang ingin ditundukkan penjajah.”

Seperti para pengunjuk rasa di Yahukimo, Victor Yeimo menyinggung soal makan gratis yang diberikan saat pendidikan di Papua belum dibereskan. “Penjajah memberimu makan gratis tapi tidak pernah memberi pendidikan gratis apalagi menawarkan pendidikan yg membebaskan. Ini adalah siasat licik yg telah digunakan penjajah sepanjang sejarah utk menguasai tubuh, pikiran, dan tanah air kita,” kata dia.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement