REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG – Keriuhan terjadi di Kampung Pulau Cangkir, Desa Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten pada pertengahan 2024 lalu. Kala itu, tiba-tiba saja datang sejumlah mobil bak membawa puluhan pekerja.
Tak ada di antara wajah-wajah para pekerja tersebut yang dikenali warga kampung. Mobil-mobil bak itu, terkadang sehari enam unit datangnya, masing-masing membawa sepuluh pekerja. Mereka membawa juga bambu-bambu dengan jumlah besar, diturunkan di kampung tersebut.
Bambu-bambu tersebut lalu dilarung di salah satu sudut kampung. Dibentuk seperti rakit-rakit, kemudian ditarik dengan perahu sekitar satu kilometer ke tengah lautan. Di lautan, para kuli dengan sigap menancapkan bambu-bambu tersebut ke dasar laut.
Sebagian dirakit dengan jaring-jaring dan pijakan dari anyaman bambu. Tak hanya memanjang, juga membentuk semacam labirin, sulit dilalui perahu nelayan. Itu dia “pagar laut” yang menghebohkan belakangan.
Saat Republika menyambangi Pulau Cangkir pada Kamis (9/1/2025), masih ada sisa-sisa bambu yang tak terpakai. Beberapa tergeletak begitu saja tak ada yang menyentuh. “Kata orang Polairud (Kepolisian Perairan dan Udara) dulu jangan diambil barang sebiji juga, nanti ditangkap,” ujar seorang warga setempat kepada Republika.
“Jangan ditulis nama saya, takut dilaporin,” ia melanjutkan. Ketakutan untuk dikutip namanya dibagi merata warga kampung. Mereka sepemahaman soal bahayanya memberikan keterangan secara terbuka bagi awak media selepas viral keberadaan pagar laut tersebut.
Sejumlah warga yang ditemui Republika menuturkan tak ada warga kampung yang kala itu paham untuk apa pengerjaan pagar laut tersebut. “Kita tanya sama para pekerja juga mereka jawabnya tidak tahu. Hanya diperintah saja,” tutur warga lainnya.
Para pekerja, menurut mereka, datang dari berbagai wilayah di Tangerang, namun tak ada yang dari kampung setempat. Mereka mengaku dibayar sekitar Rp 60 ribu sampai Rp 65 ribu untuk mengerjakan per meter pagar laut.
Para pekerja di Pulau Cangkir kala itu mengerjakan pagar laut yang merentang di wilayah laut tiga desa di sekitarnya. Karena posisi Pulau Cangkir tergolong strategis, para pekerja memilih berangkat dari sana. “Mereka biasa datang pagi, ngopi-ngopi, makan mie, terus ke laut. Malamnya ke darat, makan lagi dan minum es atau ngopi, terus pulang lagi,” tutur warga tersebut. Sementara untuk rentang pagar laut di luar tiga desa tersebut, para pekerja berpindah ke wilayah lain lagi.
Sejumlah warga lainnya menuturkan bahwa sejak awal pembangunan, pagar laut itu sudah bikin kesal nelayan setempat. Pasalnya, mereka yang biasanya langsung berlayar harus memutari pagar yang didirikan. Celah untuk ke laut lepas biasanya hanya terbuka di muara kali. Selain itu, nelayan penjaring juga tak bisa lagi mencari ikan di tepian karena jaringnya tersangkut pagar. “Biasa beli solar tiga liter ini bisa jadi delapan liter,” tutur mereka.
Lihat postingan ini di Instagram
Pada awal September, para nelayan kemudian mengadu ke Polairud setempat. Laporan itu agaknya sampai ke markas Polairud di Karangantu, di Serang, Banten. Petugas kepolisian tersebut kemudian datang dengan kapal besar di laut Pulau Cangkir.
Pengerjaan sempat terhenti setengah bulan sejak kedatangan petugas polisi tersebut. Kendati demikian, berlanjut lagi hingga akhirnya pungkas pada akhir Oktober. “Katanya harus selesai sebelum Natal,” ujar seorang warga.
Meski tak ada jawaban pasti soal alasan keberadaan pagar laut itu, sas-sus telanjur beredar di masyarakat. “Katanya nanti mau diurug,” ujar salah satu warga. Ia merujuk pada reklamasi pantai yang marak dilakukan di Teluk Jakarta. “Nanti katanya dibuat gedung-gedung tinggi, digusur semua kita,” ia menambahkan.
Sejauh ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI telah melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang membentang sepanjang 30 kilometer di kawasan Tangerang itu. Penyegelan dilakukan atas arahan dari Presiden RI Prabowo Subianto.
“Kita melakukan penyegelan. Ini sudah viral, dan Pak Presiden sudah menginstruksikan, saya pun tadi pagi diperintahkan Pak Menteri (KKP Sakti Wahyu Trenggono) langsung untuk melakukan penyegelan,” kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono kepada wartawan, Kamis (9/1/2025).
Penyegelan pagar laut di pesisir Tangerang tersebut dilakukan KKP pada Kamis siang hingga sore. Pung mengatakan, tindakan itu sebagai bentuk kewibawaan negara dalam menjaga laut dari berbagai gangguan.
“Kami hadir di sini untuk melakukan penyegelan karena sudah meresahkan masyarakat, bahkan tadi banyak (nelayan) yang mengeluh karena lalu lintasnya terganggu oleh pagar tersebut,” ujarnya.
Menurut penuturan Pung, berdasarkan pengecekan yang dilakukan, pagar di laut tersebut tidak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Sehingga tindakan penyegelan dianggap merupakan keputusan yang tepat.
Pung menyampaikan bahwa pihaknya masih melakukan pendalaman mengenai siapa pihak yang melakukan pemasangan pagar laut tersebut. Nantinya, ia memastikan si pelaku akan segera dipanggil dan akan dijatuhi sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketika pelaku sudah teridentifikasi, pemerintah akan meminta pelaku melakukan pembongkaran terhadap pagar yang berupa bambu berlapis-lapis tersebut. “Kami beri waktu sekitar 10—20 hari deh. Kalau belum dibongkar, maka kami akan bongkar,” tegasnya.