REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan land application (LA) limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) untuk pemupukan organik masih menjadi pilihan terbaik saat ini. Selain bisa berperan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), pemanfaatan LA juga menghemat devisa, yang ujungnya bisa meningkatkan daya saing produk sawit nasional.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono menyampaikan, penerapan LA dengan mempertimbangkan dosis dan frekuensi optimal, jenis tanah, faktor cuaca, redoks, dan parameter lainnya sesuai karakteristik lokasi kebun kelapa sawit sangat bermanfaat.
Pada kadar biological oxygen demand (BOD) tertentu, yakni 3.000 hingga 5.000 miligram per liter (mg/liter) dengan eH>-150 mVolt, kandungan limbah cair pabrik kepala sawit (LCPKS) mengandung input unsur hara yang paling optimal dan tidak menimbulkan emisi gas methane (CH4).
"Dengan pemanfaatan LCPKS untuk pemupukan organik, selain memberikan bahan nutrisi organik alami, maka akan berdampak pada pengurangan impor pupuk dari luar negeri. Ini menghemat devisa. Selain itu, sebagai sumber penggunaan energi terbarukan yang dihasilkan dari LCPKS," kata Eddy dalam siaran pers di Jakarta pada Senin (16/12/2024).
LA merupakan salah satu teknik pengelolaan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan cara mengalirkan limbah cair melalui sistem parit ke kebun. Sedangkan, BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik dalam air limbah.
Menurut Eddy, pengurangan impor pupuk akan meningkatkan efisiensi dan daya saing industri kelapa sawit. Dengan begitu, pengusaha dapat memberikan lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat di sepanjang rantai pasok nasional pada industri kelapa sawit.
Berdasarkan Laporan Akhir Penyusunan Roadmap Pengurangan Emisi GRK dan Pemanfaatan LCPKS pada Perkebunan dan Industri Minyak Kelapa Sawit (Pusaka Kalam) 2024, secara biaya operasional LA lebih menguntungkan daripada Non-LA. Keuntungan operasional mencapai Rp 2.928.236 per hektare hingga Rp 5.478.738 per hektare.
"Dengan manfaat di atas pemanfaatan sumber daya LCPKS pada akhirnya meningkatkan pendapatan nasional Indonesia dan mendukung target pertumbuhan ekonomi delapan persen dari Presiden Prabowo Subianto," ucap Eddy.
Pakar tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Basuki Sumawinata menyampaikan, methane capture dan LA merupakan dua hal yang berbeda. Ketika limbah cair keluar dari pabrik dan melalui proses kemudian dilepas ke lahan atau ke perairan disebut LA. "Untuk LA baru bisa dilakukan bila BOD kurang dari 5.000 mg/L, bila dibuang ke perairan BOD-nya harus kurang dari 100 mg/L," jelasnya.
Adapun methane capture merupakan tindakan untuk menangkap gas CH4 yang dilepaskan pada proses dekomposisi anaerob. Tujuannya adalah untuk mengurangi gas metana ke udara pada gilirannya bisa menurunkan emisi gas rumah kaca. "Methane capture juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi," ucap Basuki.