REPUBLIKA.CO.ID, PAPUA BARAT – Kerja keras dan pendampingan secara intensif menjadi resep bagi Munati Patiran sukses mengembangkan usaha abon ikan. Hasil ikan laut yang selama ini langsung dijual, kini diolah olehnya menjadi abon sehingga mempunyai nilai tambah dan tentu meningkatkan pendapatannya.
Munati Patiran adalah ketua Kelompok Penerima Bantuan (KPB) Program Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu (Tekad) Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) di Pulau Arguni, Distrik Arguni, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Pendampingan dari fasilitator Program Tekad berhasil mendorong variasi produk olahan hasil laut sekaligus memperluas jaringan pemasaran.
“Kampung Arguni terletak di pinggir pantai dengan kekayaan laut yang melimpah. Ketika Program Tekad diperkenalkan melalui Demonstrasi Plot (Demplot), kami memilih untuk fokus pada pengolahan ikan kakap putih menjadi abon karena melimpahnya pasokan ikan di sekitar kampung. Selain itu, kami juga mulai mengolah ikan tenggiri menjadi pentolan ikan sebagai variasi produk,” ujar Ketua KPB Barakoh, Kampung Arguni, Munati Patiran, dalam keterangan tertulis, Ahad (6/10/2024).
Munati mengatakan, upaya melakukan hilirisasi tangkapan hasil laut dari nelayan Kampung Arguni tidak berjalan mudah. Meskipun berhasil mengolah ikan kakap putih menjadi abon atau ikan tenggiri menjadi pentol ikan, namun warga menghadapi kendala pemasaran.
“Namun, perjalanan kami tidak selalu mulus. Ada kendala pemasaran karena produk abon ikan telah banyak beredar di pasar. Tantangan ini membuat kami harus berpikir keras untuk mencari cara agar produk kita bisa bersaing dan diterima pasar,” katanya.
Munati pun bercerita, berkat pendampingan fasilitator Tekad dan kader kampung, kelompok Barokah akhirnya berhasil membangun jejaring pemasaran yang lebih luas. Produk-produk KPB Barokah kini dipasarkan di beberapa toko besar di Fakfak, seperti Toko Dewata, yang memiliki banyak cabang.
Fasilitator Tekad tingkat kabupaten berhasil memfasilitasi perjanjian kerja sama di atas kertas materai antara KPB Barokah dan Toko Dewata sebagai dasar hukum kerja sama kedua belah pihak. Berdasarkan perjanjian tersebut, KPB Barokah harus memasok 30 bungkus abon ikan setiap pekan, atau 120 bungkus per bulan. Setiap bungkus berukuran 200 gram dan dijual dengan harga Rp 50 ribu, sehingga total pendapatan dari penjualan abon mencapai Rp 6 juta per bulan.
Tak hanya itu, kata Munati, KPB juga sukses memasarkan pentolan ikan tenggiri yang diproduksi rata-rata 80 kilogram per bulan dengan harga Rp 80 ribu per kilogram. Dari penjualan pentolan ikan saja, KPB Barokah memperoleh pendapatan sebesar Rp 6,4 juta per bulan.
“Total pendapatan bulanan mereka pun mencapai Rp 12,4 juta, yang merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan sebelum program ini dimulai,” katanya.
Meski telah menunjukkan hasil yang memuaskan, lanjut Munati, KPB Barokah masih menghadapi tantangan, terutama dari sisi peralatan produksi yang sebagian besar masih manual. Munati menyampaikan bahwa kelompoknya akan terus berupaya memperbaiki peralatan dan meningkatkan kapasitas produksi agar dapat memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat.
“Kami masih membutuhkan alat yang lebih modern agar proses produksi lebih cepat dan kualitas terjaga,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Munati, mereka juga sedang menunggu penyelesaian izin Produksi Industri Rumah Tangga (PIRT) dari Dinas Kesehatan dan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nomor Induk Berusaha (NIB) telah diperoleh, namun PIRT masih dalam proses.
“Jika izin ini selesai, KPB Barokah berpotensi memperluas pemasaran hingga ke luar Fakfak, seperti ke Sorong, karena mereka telah menyatakan minat untuk membeli produk kami,” ujar dia.