REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Menteri luar negeri Israel telah menetapkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebagai “persona non grata” alias orang yang tak diinginkan keberadaannya. Dengan status itu, Israel melarang Sekjen PBB memasuki negara tersebut.
Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz pada hari Rabu menuduh Guterres gagal “dengan tegas” mengutuk serangan rudal Iran terhadap Israel. Ini melanjutkan keluhan terus-menerus Israel atas pendekatan PBB selama perang selama setahun di Gaza.
“Siapa pun yang tidak bisa dengan tegas mengutuk serangan keji Iran terhadap Israel, seperti yang dilakukan hampir setiap negara di dunia, tidak pantas menginjakkan kaki di tanah Israel,” tulis Katz di X. Personan non grata adalah status yang ditimpakan pada diplomat atau warga negara asing yang dilarang memasuki negara tertentu.
Today, I have declared UN Secretary-General @antonioguterres persona non grata in Israel and banned him from entering the country.
Anyone who cannot unequivocally condemn Iran's heinous attack on Israel, as almost every country in the world has done, does not deserve to step…
— ישראל כ”ץ Israel Katz (Israel_katz) October 2, 2024
Dengan provokatif, pejabat tersebut menuduh Sekjen PBB memberikan “dukungan kepada teroris, pemerkosa, dan pembunuh” dan mencapnya sebagai “noda dalam sejarah PBB”.
Serangan Israel itu terjadi sebagai respons atas pernyataan Guterres terkait serangan rudal Iran. Tak lama setelah serangan pada Selasa itu, Guterres mengutuk peningkatan kekerasan di wilayah tersebut namun tidak menyebut Iran secara spesifik.
“Saya mengutuk meluasnya konflik Timur Tengah dengan eskalasi demi eskalasi. Ini harus dihentikan. Kita benar-benar membutuhkan gencatan senjata,” Sekjen PBB menulis pada Selasa malam.
Patut dicatat, PBB adalah badan yang memungkinkan keberadaan negara Israel. Pada 1947, PBB memberikan 62 persen wilayah Palestina untuk pendirian negara Israel meski warga Yahudi adalah minoritas di wilayah tersebut dan secara legal hanya memiliki 30 persen tanah.
Negara-negara Arab dan bangsa Palestina menolak pembagian tanah mereka yang tak adil itu dan melakukan perlawanan. Israel, dibantu persenjataan dari Soviet, kemudian Amerika Serikat, berhasil mengalahkan perlawanan Arab dan melakukan penjajahan terhadap wilayah Palestina di Tepi Barat dan pengepungan Gaza hingga saat ini.
Sejak itu, PBB telah mengeluarkan ratusan resolusi yang mengkritisi tindakan Israel di Palestina, namun tak pernah ditaati. Sementara Amerika Serikat melalui hak vetonya di Dewan Keamanan PBB kerap menghadang resolusi yang diusulkan terkait penjajahan Israel.
Belakangan, Israel makin sering berselisih dengan PBB dan banyak organisasi internasional lainnya. Namun, hubungan antara negara dan badan internasional tersebut telah mencapai titik terendah baru sejak Israel melancarkan perang tanpa henti di Gaza, menyusul serangan terhadap Israel selatan oleh Hamas pada 7 Oktober.
Katz mengklaim dalam postingannya bahwa Sekjen PBB telah gagal mengutuk “pembantaian dan kekejaman seksual yang dilakukan oleh para pembunuh Hamas pada tanggal 7 Oktober” dan mendukung “Hizbullah, Houthi, dan Iran”, yang ia sebut sebagai “induk teror global". “Israel akan terus membela warganya dan menjunjung tinggi martabat nasionalnya, dengan atau tanpa Antonio Guterres,” kata Katz.
Memahami konteks serangan 7 Oktober, Guterres terekam menyatakan bahwa serangan itu tak lahir dari ruang kosong. Ketika perang meluas ke Lebanon akhir bulan lalu dan Israel mengalihkan fokus utamanya ke Hizbullah, Guterres mengatakan dia “sangat khawatir” dengan meningkatnya situasi dan “banyaknya korban sipil”.
Menyusul pembunuhan Israel terhadap pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah pada Jumat lalu, Guterres meminta semua pihak “mundur dari tepi jurang”, dan mengatakan bahwa wilayah tersebut tidak mampu menjalani “perang habis-habisan”.
Dalam pidatonya dihadapan Majelis Umum PBB pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga menghina PBB. Ia mengatakan, lembaga itu adalah “rawa-rawa antisemit” yang harus dibersihkan.
Sementara, Dewan Keamanan PBB telah menyerukan pertemuan darurat pada Rabu untuk mengatasi konflik yang meningkat. Pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB diminta oleh beberapa negara – termasuk anggota tetap Perancis, serta Iran dan Israel yang sedianya bukan anggota.
Israel menyerukan diadakannya pertemuan tersebut sebagai tanggapan atas serangan rudal Iran kemarin, sementara Iran memintanya karena serangan Israel baru-baru ini terhadap Lebanon.
Koresponden Aljazirah mengatakan para jurnalis bertanya kepada Guterres tentang larangan terbaru Israel atas dirinya ketika dia memasuki pertemuan tersebut, namun dia menolak berkomentar. “Ini sangat tidak biasa, sangat jarang sekretaris jenderal dilarang masuk suatu negara,” lapor koresponden Aljazirah.
Linda Thomas-Greenfield, duta besar AS untuk PBB, mengutuk serangan rudal Iran terhadap Israel dan mengatakan akan ada lebih banyak sanksi terhadap negara tersebut.
“Syukurlah, dan melalui koordinasi yang erat antara Amerika Serikat dan Israel, Iran gagal mencapai tujuannya,” katanya di hadapan anggota PBB. “Hasil ini tidak mengurangi fakta bahwa serangan ini, yang dimaksudkan untuk menyebabkan kematian dan kehancuran yang signifikan, menandai peningkatan yang signifikan oleh Iran.”
Duta Besar AS mengatakan bahwa serangan Iran bukanlah “defensif”. “IRGC [Korps Garda Revolusi Islam Iran] tidak melindungi Iran dari ancaman negara anggota lainnya,” katanya. “Sebaliknya, IRGC bertindak dalam solidaritas dengan Hizbullah setelah pembunuhan [pemimpin Hizbullah Hassan] Nasrallah, yang memimpin kelompok teroris yang mempertaruhkan nyawa ribuan orang Amerika, Lebanon, dan Israel.”
“Hal ini tidak dapat dipertahankan, dan tidak dapat diterima, dan kami memiliki tanggung jawab kolektif sebagai anggota Dewan Keamanan untuk menjatuhkan sanksi tambahan pada IRGC karena mendukung terorisme dan melanggar begitu banyak perjanjian,” kata Thomas-Greenfield.
Berkebalikan dengan kecaman keras kepada Iran tersebut, Amerika Serikat tak mengeluarkan pernyataan serupa terhadap agresi brutal Israel di Jalur Gaza yang telah berjalan setahun dan menewaskan 41.600 jiwa lebih. Kebanyakan korban tersebut adalah perempuan dan anak-anak. Atas serangan brutal ke Gaza itu, pihak AS berulang kali menyatakan bahwa Israel punya hak membela diri.