REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kisah Israel dan Palestina tak bermula dari genosida yang menjelang setahun berjalan. Ia juga bukan sekadar kisah Israel melawan sekelompok pejuang di Palestina saja.
Kisah panjang penjajahan Israel dan perlawanan Palestina sudah merentang di tiga abad yang berbeda. Selama lebih dari seabad itu, orang-orang Palestina selalu menjadi yang tertindas dan terusir.
Perlawanan juga dilakukan tak hanya baru-baru ini. Berikut kejadian-kejadian kunci yang mewarnai perjuangan panjang tersebut.
Abad ke-19
Pada 29-31 Agustus 1897 Theodor Herzl memimpin Kongres Zionis Pertama. Mereka menyepakati langkah-langkah untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina yang saat itu dikuasai Turki Utsmani. Pendanaan kuat dari bankir-bankir Yahudi di Eropa menyokong gerakan ini. Melalui dana itu, imigran Yahudi mulai berdatangan ke Palestina dan membeli tanah-tanah warga Arab yang sudah berabad-abad tinggal lebih dulu di Palestina.
Pada 1897 itu juga komisi Arab dibentuk di Yerusalem untuk menghentikan pencaplokan lahan oleh imigran Yahudi. Kala itu, para tuan tanah Yahudi mulai mengusir warga Arab. Warga Arab mulai mencurigai rencana pendirian negara Israel.
Abad ke-20
Pada pergantian milenium, dengan semakin banyaknya imigran Yahudi, kesadaran nasionalisme di kalangan pribumi Arab juga timbul. Mereka juga memimpikan negara sendiri di Palestina dan jengah melihat para tuan tanah Yahudi yang kian semena-mena.
Pada 1915, di tengah Perang Dunia I, Inggris berhasil merayu Sharif Makkah Hussein bin Ali melancarkan pemberontakan melawan Turki Utsmani dengan janji dukungan atas pembentukan negara Arab yang meliputi sebagian besar Timur Tengah termasuk Palestina.
Pada 2 November 1917, melalui lobi bankir Yahudi, Walter Rothschild, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour mengumumkan dukungan Inggris atas pembentukan negara Yahudi di Palestina. Deklarasi ini dilihat Syarif Makkah dan bangsa Arab secara keseluruhan adalah pengkhianatan terhadap janji Inggris sebelumnya.
Deklarasi Balfour juga makin mendorong imigrasi masif etnis Yahudi ke Palestina. Populasi Yahudi melonjak drastis sejak itu, dari 5 persen menjadi 30 persen pada 1935.
Pada 1918, Inggris sebagai pemenang Perang Dunia I menduduki Palestina dengan status mandatorat. Sejak itu, kebijakan-kebijakan pro-Yahudi dijalankan Inggris. Pekerja Yahudi dibayar lebih mahal, bendera Zionis boleh berkibar sementara bendera Arab dilarang. Merasa mendapat angin, aktivis dan media Zionis mulai mengampanyekan pengusiran etnis Arab sepenuhnya dari Palestina pada 1919.
Tak lama sejak 1920, bentrokan-bentrokan mulai terjadi antara etnis Arab dan imigran Yahudi yang kian masif kedatangannya. Bentrokan-bentrokan ini memuncak pada pertengahan hingga akhir 1930-an, saat dua ulama Palestina, Izzudin al-Qassam dan Amin al-Husseini melancarkan pemogokan masa. Inggris dengan brutal memberangus pemberontakan itu, mengakibatkan sekitar 19 ribu warga Arab meninggal.
Selepas kekerasan pada 1930-an, Inggris melunak. Pada 1939, Inggris mengeluarkan kebijakan pembatasan imigran Yahudi, juga menolak pembentukan negara khusus untuk etnis Yahudi saja. Pendirian negara baru juga harus melalui persetujuan warga Arab Palestina.
Gelombang kekerasan pada 1930-an juga memicu pembentukan milisi-milis teroris Yahudi seperti Haganah dan Irgun. Mereka kerap melakukan teror terhadap desa-desa Arab di Palestina yang disertai pembunuhan dan penganiayaan.
Genosida yang dilakukan Nazi Jerman di Eropa terhadap warga Yahudi menjelang dan selama Perang Dunia II juga memicu migrasi besar-besaran Yahudi ke Palestina.
Setelah Perang Dunia II, genosida di Jerman memberi angin pada para pemukim Yahudi di Palestina terkait pembentukan negara Zionis. Pada 29 November 1947 PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 181 (II) yang membagi Palestina menjadi dua negara. Komunitas Arab menolak karena solusi itu tak adil. Etnis Yahudi yang meliputi 33 persen populasi dan memiliki secara sah 7 persen saja lahan di Palestina diberi wilayah negara seluas 56 persen dari wilayah Mandat Palestina. Sementara warga Arab yang meliputi 67 persen populasi dan pemilik sah sedikitnya 80 persen tanah di Palestina mendapat wilayah lebih sedikit, yakni 43 persen saja.
Pada 1948 gelombang kekerasan menggelora di Palestina. Warga Arab yang menilai resolusi PBB tak adil kerap melakukan aksi protes, Sementara pasukan teroris Yahudi melakukan kekejaman di berbagai desa di Palestina. Salah satu yang mencolok terjadi di Deir Yassin di dekat Yerusalem pada April 1948. Ratusan warga desa saat itu dibantai Irgun dan kelompok teroris Yahudi lainnya, Lehu.
Pada 10 Maret 1948, para pemimpin Zionis, atas usulan David Ben Gurion menyepakati Rencana Daleth. Rencana itu merupakan aksi terencana untuk melakukan pembersihan etnis terhadap warga Palestina. Sebulan kemudian Israel memproklamasikan kemerdekaannya, saat Inggris melepas secara resmi mandatoriatnya di Palestina.
Proklamasi Israel memicu tanggapan dari negara-negara Arab dan relawan pejuang di Palestina. Namun pasukan Israel yang jumlah totalnya sudah mencapai 50 ribu personel bermodal senjata paling canggih saat itu yang dibeli dari Uni Soviet dengan mudah mengalahkan pasukan Arab yang jumlahnya lebih sedikit serta bersenjata minimal. Israel berhasil menguasai sebagian besar Palestina, sementara Yordania mencaplok Tepi Barat dan Mesir menguasai Jalur Gaza.
Seiring perang Arab-Israel, negara Zionis mulai menjalankan pembersihan etnis berupa pengusiran sekitar 800 ribu warga Arab Palestina dari kampung halaman. Peristiwa ini dikenal dengan nama Nakba alias "malapetaka" di Palestina. Ratusan ribu pengungsi itu kemudian tersebar di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Suriah, Mesir, dan negara-negara lain.
Palestina mendeklarasikan kemerdekaan pada 22 September 1948, dan dengan bantuan Mesir dan Yordania melakukan serangan-serangan ke perbatasan dengan Israel pada 1950-an. Pada 1964, Yasser Arafat mendirikan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di pengasingan. Gerakan itu mendapat legitimasi negara-negara Arab yang melihatnya sebagai organisasi perlawanan utama Palestina.
Israel melakukan serangan mendadak ke wilayah Mesir pada 1967 dengan dalih mengamankan jalur laut mereka. Serangan ini memicu perang enam hari antara Israel melawan Mesir, Yordania, dan Suriah. Israel dengan persenjataan dari Barat memenangkan pertempuran dan menguasai Gaza, Tepi Barat, Yerusalem, serta Semenanjung Sinai. Sekitar 600 ribu warga Arab terusir dari Gaza dan Tepi Barat, peristiwa malapetaka kedua yang kemudian dikenal dengan nama Naksa.
Meyakini tak bisa mengalahkan Israel lewat perang terbuka, pejuang Palestina menggunakan taktik gerilya guna memperjuangkan kemerdekaan. Sepanjang 1970-an, pembajakan pesawat, bom bunuh diri, dan penyanderaan mulai dilakukan pejuang dari PLO dan Front Populer Pembebasan Palestina (PFLP) yang dipimpin seorang kristen Palestina George Habash.
Perlawanan Palestina juga dilakukan melalui Lebanon sepanjang 1970-1980-an. Ini berbarengan dengan perang sipil di Lebanon. Israel kemudian menginvasi Lebanon pada 1982 untuk menghabisi perjuangan PLO di Lebanon. Pada 1982, Israel memfasilitasi dan membiarkan pembantaian terhadap 3.500 pengungsi Palestina di Pengungsian Sabra-Shatila.
Pada akhir 1987, warga Palestina di wilayah yang diduduki Israel mendidih akibat diskriminasi, penangkapan, pelarangan beribadah, dan pembunuhan. Pada Desember 1987, truk tentara Israel menabrak mati sejumlah warga Palestina dan memicu protes besar-besaran. Protes itu kemudian menjadi perlawanan semesta warga Palestina yang dikenal dengan nama Intifadah. Pada masa-masa ini terbentuk kelompok yang nantinya berperan besar dalam perlawanan, yakni Hamas. Sebanyak 1.962 warga Palestina gugur dan 200 warga Israel terbunuh.
Didorong oleh perlawanan Intifadah, pemerintah Israel di bawah perdana menteri Yitzhak Rabin kemudian bersedia melakukan perundingan damai dengan Yasser Arafat dimakelari oleh AS pada 1993. Pada 1995, kedua pihak sepakat soal keberadaan entitas Palestina yang akan memerintah di Tepi Barat dan Gaza. Meski masih merugikan Palestina, perjanjian ini menyudahi Intifada. Sementara di Israel, Yitzhak Rabin dieksekusi teroris sayap kanan Yahudi akibat perjanjian ini.
Abad ke-21
Meski Yitzhak Rabin dibunuh, perundingan damai terus berjalan. Namun pada September 2000, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon melakukan kunjungan provokatif ke Masjid Al-Aqsa. Hal ini memicu Intifada kedua yang lebih mematikan ketimbang yang pertama. Sekitar 3.000 meninggal di Pihak Palestina dan 1.000 di pihak Israel. Intifada kedua resmi berakhir pada 2005 saat kedua pihak sepakat tak saling serang.
Pada 2006, pemilu Palestina digelar dengan tujuan pendirian negara Palestina. Kelompok Hamas memenangkan mayoritas suara sebesar 44 persen. Israel dan AS menolak mengakui hasil pemilu karena sikap Hamas yang saat itu masih menolak keberadaan Israel. Sementara pada 2007, Hamas dan Fatah terlibat pertikaian internal yang berujung penguasaan Gaza di tangan Hamas dan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina.
Pada akhir 2008 pasukan Israel menyerang sejumlah pos polisi dan terowongan di Gaza. Hamas yang menilai serangan itu sebagai pelanggaran gencatan senjata membalas dengan tembakan roket. Hal itu kemudian meledak jadi konflik terbuka saat Israel melancarkan operasi Cast Lead di Gaza, yang menimbulkan ribuan korban sipil. Pada Februari 2009, gencatan senjata ditandatangani dengan mediasi internasional antara kedua pihak.
Pada 2012, gencatan senjata kembali diteken Hamas dan Israel. Isinya adalah bawah kedua pihak tak akan menyerang satu sama lain. Kesepakatan itu juga mensyaratkan dicabutnya blokade Israel terhadap Gaza. Barang-barang dan warga Gaza tak boleh lagi dihalangi keluar-masuk wilayah tersebut. Poin kesepakatan yang terakhir ini berulang kali dilanggar Israel hingga akhirnya meletus perang pada 2014. Bombardir Israel ke Gaza saat itu menimbulkan 2.300 warga Gaza gugur, 70 persen diantaranya warga sipil.
Pada Mei 2021, Israel melakukan pengusiran paksa warga Palestina di Sheikh Jarrah, di dekat Masjid Al-Aqsa. Hal ini memicu protes dan kemudian pengepungan jamaah yang beriktikaf di Masjid Al-Aqsa. Roket Hamas dan balasan Israel ke Gaza terjadi menyusul insiden itu. Eskalasi kala itu krusial karena untuk pertama kalinya, sentimen pembelaan Palestina jadi awam di berbagai penjuru dunia.
Pada November 2022, Benjamin Netanyahu kembali terpilih sebagai perdana menteri, kemudian membentuk kabinet dan koalisi dengan kelompok sayap kanan Israel. Pemerintahan koalisi ini terus meluaskan pengungsian ilegal di Tepi Barat, mendorong militansi pemukim ilegal Yahudi, melakukan provokasi di Masjidil Aqsa, dan secara reguler melakukan penggerebekan di Tepi Barat yang menewaskan ratusan warga Palestina. Sementara jumlah warga Palestina yang ditahan tanpa proses hukum juga terus melonjak mencapai 5.000 orang pada awal 2023. Berbagai pihak mengingatkan, aksi-aksi Israel itu akan memicu perang, tapi tak digubris Israel.
Pada 7 Oktober 2023, dengan dalih menghentikan aksi-aksi Israel itu seribuan pejuang-pejuang Hamas menembus perbatasan Israel dalam Operasi Topan al-Aqsa. Mereka menyerang pos-pos militer dan pemukiman Israel. Pihak Israel mengeklaim 1.400 warga tewas akibat serangan, beserta ratusan tentara Israel. Ratusan juga ditawan Hamas selepas penyerangan itu.
Israel kemudian melancarkan bombardir paling brutal sepanjang sejarah ke Gaza. Memenuhi unsur-unsur kejahatan perang dan genosida, menghancurkan tanpa pandang bulu bangunan-bangunan sipil, serta memutus aliran listrik, air bersih, makanan, bahan bakar, dan telekomunikasi. Sedikitnya 41.600 warga Gaza, mayoritas adalah anak-anak, syahid dalam serangan itu.