Senin 23 Sep 2024 15:41 WIB

Calon yang Diusung PDIP di Pilkada Selalu Bersebarangan dengan KIM? Ini Kata Said Abdullah

PDIP tak menampik kerja sama dengan KIM

Ketua DPP PDIP, Said Abdullah, menegaskan pihaknya tak menampik kerja sama
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua DPP PDIP, Said Abdullah, menegaskan pihaknya tak menampik kerja sama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)angkat bicara mengenai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusung PDI Perjuangan dianggap berhadapan dengan calon yang di usung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Ketua DPP PDI Perjuangan, Said Abdullah, mengatakan harus dilihat bahwa kerjasama politik dalam pilkada harus kita maknai sebagai kontestasi demokratis, bukan sebuah permusuhan politik. “Cara pandang ini harus klir lebih dulu,” kata dia kepada media, di Jakarta, Senin (23/9/2024).

Baca Juga

Sebab kontestasi Pilkada, menurut dia, adalah jalan demokratis dan konstitusional kita mendapatkan pemimpin di daerah. Setelah pilkada, semua pihak yang tadinya ber kontestasi hendaknya rukun kembali bersama sama membangun daerah dengan perannya masing masing.

Kedua, kata dia, terbentuknya kerja sama politik di pilgub dari sejumlah daerah dari KIM bahkan KIM Plus harus dilihat konteks politik pascapilpres dan sebelum lahirnya Putusam MK No. 60 pada 20 Agustus 2024.

“Kalau saya baca, saat itu memang ada sejumlah keinginan dari sejumlah elite politik yang ingin mengulang kesuksesan pada pilpres dalam pilkada. Namun setelah munculnya Putusan MK No. 60 tahun 2024, dan munculnya sejumlah figur calon kepala daerah, peta politik telah berubah,” kata dia.

Dia menyebut, semisal di Daerah Khusus Jakarta (DKJ), awalnya untuk menukar Pak Ridwan Kamil dari Jabar ke DKJ, sekaligus untuk menghadapi atau seakan akan untuk menghadang Pak Anies Baswedan.

“Namun dengan munculnya Nama Mas Pramono Anung, saya kira peta juga berubah. Figur Mas Pram menjadi titik temu antara Pak Jokowi, Pak Prabowo dan Ibu Mega. Fakta politik baru inilah yang harus kita cermati, agar tidak semata mata terpaku pada kerja sama politik formalistik,” ujar dia.

Demikian juga, kata dia, dengan munculnya figur Andika Perkasa di Jawa Tengah. Apapun itu, Pak Andika itu pernah menjadi “simbol” karena pernah menjabat pucuk pimpinan TNI. Latar belakang ini tidak bisa dianggap remeh.

“Saya kira situasi ini juga mengubah peta pilkada di Jawa Tengah. Apalagi Pak Andika juga berhubungan baik dengan Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Bahkan Pak Andika pernah menjadi pembantu Pak Jokowi saat menjabat Komandan Paspampres yang menjaga 24 jam Pak Jokowi saat bertugas ataupun tidak bertugas,” ujar dia.

Dan terakhir, ujar dia, kontestasi Pilkada adalah kontestasi figur. Yang “dijual” ke rakyat adalah figurnya, menyangkut prestasi, rekam jejak, kemampuan komunikasi politiknya dengan pemilih, strategi pemenangan, dukungan logistik, jaringan sosial, dan lain-lain.

Dia menekakan, tidak bermaksud mengerdilkan partai partai pengusung, namun apapun itu, pemilih tetap melihat figur yang di usungnya. Dalam survei sering mendengar split ticket voting, yaitu pendukung partai A, dimana Partai A mendukung kandidat yang tidak dinginkan oleh pendukung Partai A tersebut, sehingga mereka memilih mendukung figur dalam pilkada yang di usung Partai B karena dianggap lebih memenuhi harapannya.

“Faktor split ticket voting dalam pilkada ini cukup besar. Sebab belum tentu aras elite sejalan dengan aspirasi grassrootnya, mempertimbangkan situasi seperti ini, saya kira pilkada akan semakin dinamis. Dengan demikian kita tidak bisa terpaku hanya formalitas kerja sama politik,” tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement