Rabu 21 Aug 2024 17:55 WIB

Jaksa Ungkap Helena Lim Sengaja Musnahkan Bukti Transaksi Keuangan Harvey Moeis

Bukti-bukti transaksi keuangan Harvey Moeis yang dihapus terkait korupsi timah.

Terdakwa Helena Lim usai menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2024). Sidang tersebut beragendakan pembacaan surat dakwaan terhadap terdakwa Helena Lim dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Dalam surat dakwaan, Crazy Rich PIK tersebut ratusan miliar dari pengelolaan dana seolah-olah Corporate Social Responsibility (CSR) melalui PT Quantum Skyline Exchange dari para smelter yang melakukan penambangan liar. Jaksa penuntut umum mendakwa Helena Lim telah merugikan negara senilai Rp300 triliun dalam kasus tersebut.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Helena Lim usai menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2024). Sidang tersebut beragendakan pembacaan surat dakwaan terhadap terdakwa Helena Lim dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Dalam surat dakwaan, Crazy Rich PIK tersebut ratusan miliar dari pengelolaan dana seolah-olah Corporate Social Responsibility (CSR) melalui PT Quantum Skyline Exchange dari para smelter yang melakukan penambangan liar. Jaksa penuntut umum mendakwa Helena Lim telah merugikan negara senilai Rp300 triliun dalam kasus tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim disebut menghilangkan atau memusnahkan dengan sengaja bukti transaksi keuangan terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan PT Refined Bangka Tin (RBT) terkait kasus dugaan korupsi timah. Helena juga menggunakan beberapa rekening dan tempat penukaran uang yang disembunyikan dan disamarkan guna menghilangkan jejak transaksi keuangan korupsi timah Harvey.

"Pemusnahan bukti dilakukan dengan tujuan menyembunyikan transaksi keuangan," Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ardito Muwardi dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Baca Juga

JPU mengungkapkan bukti transaksi keuangan tersebut merupakan transaksi pengumpulan biaya pengamanan sewa alat processing untuk penglogaman timah antara Harvey bersama-sama dengan Direktur Utama PT RBT Suparta, Pemilik Manfaat CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia Thamron alias Aon, serta Direktur PT Sariwiguna Binasentosa Robert Indarto. Kemudian, bersama-sama pula dengan Pemilik Manfaat PT Stanindo Inti Perkasa Suwito Gunawan, General Manager Operasional PT Tinindo Internusa Rosalina, serta Marketing PT Tinindo Internusa Fandy Lingga.

Selain memusnahkan bukti transaksi keuangan Harvey, JPU menuturkan Helena juga menggunakan beberapa rekening dan tempat penukaran uang yang disembunyikan dan disamarkan guna menghilangkan jejak transaksi keuangan korupsi timah Harvey. Langkah menyembunyikan dan menyamarkan transaksi tersebut dilakukan dengan transaksi penukaran uang dan pengiriman ke rekening Harvey dengan catatan tujuan transaksi sebagai 'setoran modal usaha' atau 'pembayaran utang-piutang'.

"Padahal senyatanya tidak ada hubungan utang-piutang atau modal usaha antara Helena maupun PT QSE dengan Harvey," ucap JPU.

Kemudian, JPU menambahkan, langkah lainnya yang dilakukan Helena dalam menyembunyikan transaksi korupsi, yakni transaksi tidak didukung dengan persyaratan sesuai peraturan yang berlaku, di antaranya tidak dilengkapi dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan tidak ada keterangan untuk transaksi di atas 25 ribu dolar AS.

Selain itu, transaksi juga tidak dilaporkan kepada Bank Indonesia (BI) maupun Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan tidak dicantumkan dalam laporan keuangan PT QSE atas transaksi penukaran uang yang dilakukan oleh Harvey bersama-sama dengan Suparta, Tamron alias Aon, Robet, Suwito, Fandy, serta Rosalina di PT QSE. Adapun transaksi pengumpulan biaya pengamanan sewa alat alat processing untuk penglogaman timah dari empat smelter swasta dilakukan secara transfer dan tunai dengan total 30 juta dolar AS atau setara dengan Rp420 miliar.

Keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa. Dana yang dikumpulkan oleh Harvey dicatat seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) dari kegiatan pertambangan timah ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

JPU mengungkapkan Harvey meminta Helena untuk menampung dana biaya pengamanan sewa itu dalam rekening pada PT QSE. Setelah uang masuk ke rekening PT QSE, Helena menukarkan uang dari rupiah ke mata uang asing yang seluruhnya kurang lebih 30 juta dolar AS dan kemudian diberikan tunai kepada Harvey secara bertahap yang diantar oleh kurir PT QSE.

"Atas penukaran uang itu, Helena melalui PT QSE mendapatkan keuntungan seluruhnya kurang lebih sebesar Rp900 juta dengan perhitungan Rp30 dikalikan dengan 30 juta dolar AS," kata JPU.

Akibat perbuatannya membantu penampungan uang korupsi timah dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Helena didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

Dengan demikian, perbuatan ia diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement