Jumat 16 Aug 2024 11:04 WIB
NIKMAT MERDEKA

Bukan Sekadar Pilkada Serentak

Pilkada merupakan proses untuk mencari pemimpin yang berkualitas.

Pilkada serentak 2024 (ilustrasi)
Foto:

Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mengingatkan bahwa serangan fajar atau politik uang merupakan bentuk suap-menyuap. Politik uang itu yang menurut KPK menjadi pangkal dari kasus korupsi. Sehingga akan sangat sulit berharap mencari pemimpin berintegritas jika sedari proses awal sudah bermasalah.

Dilansir dari keterangan KPK, pada Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu menangkap tangan 25 kasus politik uang yang dilakukan selama masa tenang. Kasus ini tersebar di 13 provinsi.

Peneliti hukum dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, mengatakan, politik uang, netralitas aparat pemerintahan, dan pembancakan anggaran masih akan menjadi isu yang perlu disorot dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dia menilai, pengawasan terhadap praktik-praktik demikian perlu ditingkatkan agar Pilkada bisa terlaksana secara berimbang.

“Kalau kita bicara tentang risk field dalam penyelenggaraan Pilkada memang tidak jauh berbeda dengan pemilu kemarin. Tentu saja yang masih paling rawan itu terkait dengan politik uang, yang masih mungkin dan berpotensi terjadi di dalam Pilkada nanti,” kata Haykal kepada Republika, Kamis (25/7/2024).

Terkait hal ini dia menyoroti situasi ketika adanya seorang pejawat yang kembali mencalonkan diri atau calon yang didukung pejawat. “Ini tentu akan memiliki keuntungan tersendiri karena ada potensi terjadinya pembacakan APBD dan sebagainya,” ucapnya.

Menurutnya, hal tersebut harus sangat diperhatikan. Sebab praktik semacam itu lebih subur dan lebih mudah terjadi dalam pemilu tingkat lokal dibandingkan level nasional. Salah satu faktor penyebab adalah karena pengawasan terhadap pengelolaan anggaran tidak seketat di tingkat nasional.

Haykal menambahkan, ketika calon kepala daerah melakukan politik uang untuk menggaet pemilih dan berhasil menang dalam pemilu, pemerintahannya berpeluang besar koruptif.

“Karena biaya-biaya yang dikeluarkan dengan tidak wajar dan tujuan yang tidak benar dalam proses Pilkada, itu akan coba untuk dikembalikan lagi pada saat dia sudah menjabat. Dan itu sudah pasti, bukan lagi hanya sebagai potensi,” ujarnya.

Terkait hal tersebut, Haykal menilai, pendidikan politik bagi masyarakat sangat penting dilakukan. Masyarakat, kata dia, harus disadarkan agar tidak tergiur iming-iming uang yang hanya sesaat dan mengorbankan efek jangka panjang.

Selain politik uang, Haykal turut menyorot netralitas aparat pemerintahan. Menurut dia, ketentuan netralitas aparat dalam pemilu di tingkat daerah rawan dilanggar.

“Misalnya ada kepala daerah yang sedang menjabat atau incumbent, tentu dia bisa melakukan perintah-perintah, memberikan instruksi-instruksi kepada jajaran di bawahnya untuk melakukan mobilisasi untuk memilih siapa dan sebagainya,” ucapnya.

Isu terakhir yang juga disorot Haykal adalah pembancakan APBD. “Ini sama seperti praktik-praktik pembagian bansos, perbaikan jalan, dan sebagainya, yang digunakan oleh calon incumbent atau calon yang didukung oleh pejawat untuk mendapatkan suara, untuk memperkenalkan dirinya,” ujar Haykal.

Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa Tengah Muhammad Afif mengatakan, partainya menentang praktik politik uang dalam pemilu. Dia mengklaim bahwa PKS tidak melakukan praktik semacam itu. Namun dia mengakui bahwa hal tersebut masih terjadi di lapangan.

“Pada kenyataannya, Bawaslu, Panwaslu, itu sendiri sangat lemah dalam hal kontrol, pengawasan, dan menindaklanjuti laporan-laporan dari masyarakat. Dan ini sebenarnya tidak boleh terjadi,” kata Afif kepada Republika.

Dia mengungkapkan, jika pemilu ingin berkualitas, semua pihak yang terlibat di dalamnya, mulai dari penyelenggara, peserta, hingga pemilih, harus taat pada aturan, termasuk tidak melakukan politik uang.

Afif mengatakan, PKS pernah melakukan survei kepada warga yang tinggal di wilayah Pantai Utara (Pantura).Dalam survei tersebut terungkap bahwa 80 persen warga enggan memilih kandidat atau calon yang tidak memberi mereka uang. “Ini ‘kan sebenarnya memprihatinkan,” ujar Afif.

Sama seperti Haykal, Afif berpendapat, pendidikan politik kepada masyarakat, terutama di kelas bawah, harus diintensifkan. Dia mengatakan, selain menjelaskan tentang bagaimana cara memilih pemimpin, warga juga harus diberi tahu tentang efek negatif politik uang. “Jadi warga harus disadarkan,” ucapnya.

Ketua Badan Pengawas Pemilu Ramhat Bagja menilai praktik politik uang berpotensi berlangsung di beberapa tahapan krusial di Pilkada. Di antaranya mulai dari pendaftaran berupa jual beli dukungan parpol, masa kampanye, hinggga masa tenang jelang pemungutan suara.

Menurut Bagja, masalah politik uang ini adalah tugas bersama, tidak hanya pekerjaan pengawas pemilihan. "Ini tugas kita bersama, Sentra Gakkumdu juga menindak dan menelusuri terkait politik uang. Politik uang memang susah untuk ditelisik, begitu kami patroli pengawasan politik uang, tiarap semua. Ketika kami kembali ke kantor, (politik uang) marak lagi," ujar Bagja dalam keterangannya.

Jika masalah politik uang ini bisa diatasi, dan kompetensi pemimpin benar-benar teruji, maka hanya butuh waktu bagi daerah untuk tumbuh maju dan berkembang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement