REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penjualan makanan cepat saji McDonald's secara global mengalami penurunan pertamanya sejak 2020. Penurunan di tengarai disebabkan karena konsumen di seluruh dunia mengeluh dengan harga burger, kentang goreng, dan minuman ringan yang semakin lebih mahal. Aksi boikot di beberapa negara juga ikut mempengaruhi.
Seperti dilansir dari laman Financial Times, Senin (30/7/2024), penjualan pada kuartal kedua (April-Juni) turun 1 persen secara year on year. Kepala eksekutif perusahaan Chris Kempczinski mengatakan konsumen lebih selektif dalam membelanjakan uang mereka.
Akibat penurunan konsumsi, pendapatan kuartalan McDonald tidak tumbuh atau mencatat 6,49 miliar dolar AS hampir tidak berubah dari tahun lalu. Adapun laba bersih turun 12 persen menjadi $2,02 miliar sehingga tidak memenuhi ekspektasi Wall Street.
"Anda melihat bahwa konsumen lebih sering makan di rumah," katanya.
Penurunan permintaan ini telah memicu kekhawatiran terhadap penjualan makanan cepat saji itu setelah bertahun-tahun membantu menopang ekonomi AS sejak pandemi.
Indeks makanan AS yang dikonsumsi di luar rumah naik 30 persen dari pertengahan 2019. McDonald's,juga telah menaikkan harga. Pada saat yang sama, rumah tangga yang memiliki uang tunai mulai menahan diri setelah pandemi.
Joe Erlinger, presiden McDonald's AS, mengatakan dalam surat terbuka pada bulan Mei bahwa biaya rata-rata Big Mac Meal telah naik 27 persen dari sejak 2019, menjadi 9,29 dolar di AS. Ia pun mengakui bahwa harga terimbas oleh tekanan inflasi.
"Pada akhirnya, kami memperkirakan pelanggan akan terus merasakan tekanan ekonomi dan biaya hidup yang lebih tinggi setidaknya selama beberapa kuartal berikutnya dalam lanskap yang sangat kompetitif ini," kata Erlinger kepada para analis pada hari Senin.