Kamis 11 Jul 2024 19:34 WIB

Setelah Saudi, Giliran Cina Gertak NATO: Jangan Bikin Kacau di Asia!

Cina mendukung anggapan Rusia bahwa ekspansi NATO merupakan ancaman bagi Rusia.

 Tentara Pembebasan Rakyat, angkatan bersenjata Cina saat merayakan hari jadinya pada 30 Juli 2017.
Foto:

Tentara Pembebasan Rakyat Cina  berada di Belarus pekan ini untuk latihan bersama di dekat perbatasan dengan Polandia, salah satu anggota NATO. Latihan tersebut adalah yang pertama dengan Belarus, sekutu Rusia, yang menganut sistem satu partai di bawah Presiden Alexander Lukashenko, yang  pro-Rusia. Lin menggambarkan pelatihan gabungan itu sebagai operasi militer normal yang tidak ditujukan pada negara tertentu.

Cina adalah pemain kunci dalam Organisasi Kerja Sama Shanghai, yang mencakup elemen militer kuat yang melibatkan Rusia dan beberapa negara Asia Tengah, India, dan, yang terbaru, Belarus.

Hal ini dipandang tidak hanya menciptakan benteng melawan pengaruh Barat di wilayah tersebut, tetapi juga ketegangan atas meningkatnya pengaruh Cina di wilayah yang dianggap Rusia sebagai halaman belakang politiknya yang terdiri dari negara-negara bekas Uni Soviet, termasuk Belarus.

Awal bulan ini, Putin dan Presiden Cina Xi Jinping menghadiri pertemuan para pemimpin atau pejabat tinggi dari 10 negara SCO di Kazakhstan. Di sana, Putin menegaskan kembali permintaannya agar Ukraina menarik pasukannya dari wilayah yang diduduki Rusia. Ukraina dengan tegas menolak hal itu, bersamaan dengan proposal perdamaian Cina yang tidak menyebutkan pengembalian wilayah Ukraina kepada pemerintah di Kiev.

Cina dan Rusia telah menyelaraskan kebijakan luar negeri mereka untuk menentang Barat, bahkan ketika Rusia semakin bergantung pada Cina sebagai pembeli minyak dan gas yang merupakan bagian terbesar dari perdagangan luar negerinya.

Sebelumnya, Arab Saudi meradang atas tindakan G-7 yang menyita hampir 300 miliar dolar AS aset Rusia yang dibekukan. Negara itu memperingatkan negara-negara Eropa bahwa mereka akan menjual sejumlah surat utang negara di Benua Biru itu sebagai pembalasan atas sanksi tersebut.

Demikian menurut laporan Bloomberg seperti dilansir Middle East Eye,  Selasa (9/7/2024). Ancaman itu disampaikan dari Kementerian Keuangan Arab Saudi pada awal tahun ini ke beberapa negara G-7, ketika kelompok tersebut mempertimbangkan penyitaan aset-aset Rusia yang dibuat khusus untuk mendukung Ukraina.

"Arab Saudi mengisyaratkan utang euro yang diterbitkan oleh Prancis," tulis Bloomberg. Riyadh telah mengkhawatirkan upaya Barat untuk menyita aset Kremlin selama berbulan-bulan. 

Pada April, Politico melaporkan bahwa Arab Saudi, bersama dengan Tiongkok dan Indonesia, secara pribadi melobi UE agar tidak melakukan penyitaan. Ancaman Arab Saudi untuk menjual surat utang negara-negara anggota Uni Eropa dinilai menunjukkan langkah Riyadh unjuk kekuatan dalam memanfaatkan daya ekonomi mereka buat mempengaruhi para pembuat kebijakan di negara-negara barat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement