Oleh Fitriyan Zamzami
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak berlebihan agaknya bahwa Jakarta adalah kota yang keras kepala. Sudah sejak lama, berbagai pemerintahan mengupayakan pindah ibu kota dari kota pelabuhan yang semarak tersebut. Berulang kali pula, upaya itu gagal.
Wartawan senior Republika Alwi Shahab (semoga Allah merahmatinya), menuliskan bahwa jauh sebelum ramai-ramai belakangan sudah banyak usulan agar ibu kota dipindahkan, termasuk saat masih bernama Batavia. Ketika pusat Pemerintahan VOC ini menjadi sarang penyakit akibat terbebani lumpur, kota yang pernah mendapat predikat Ratu dari Timur berubah menjadi Kuburan warga Belanda. Orang tidak heran bila mendengar sahabat yang malamnya makan malam bersama keesokan harinya dikabarkan telah meninggal dunia.
Begitu dahsyatnya kematian dan bencana, hingga ketika Herman Willem Daendels ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ia diperintahkan untuk segera memindahkan Ibu Kota Hindia Belanda dari Batavia ke Surabaya atau Semarang. Tapi, Daendels memilih untuk memindahkan pusat kota ke arah selatan daripada perintah pemindahan ke Semarang atau Surabaya.
Gubernur Jenderal pengagum Napoleon ini pada 1808 menghancurkan gedung-gedung, termasuk Istana Gubernur Jenderal yang terletak di Prinsenstraat (kini Jalan Cengkeh, Jakarta Utara). Prinsenstraat merupakan kawasan elite warga Belanda yang berada di pusat kota seperti layaknya Menteng sekarang ini. Pemindahan ini dia lakukan karena pusat kota dengan jalannya yang memanjang telah menjadi sarang penyakit akibat dipenuhi oleh lumpur yang berasal dari sungai dan kanal-kanal.
Seorang pendatang dari Belanda bernama Coupedrus ketika turun di Pelabuhan Sunda Kelapa pada 1815 menyaksikan bahwa Batavia yang mendapat julukan “Ratu dari Timur” seolah-olah merupakan kota hantu. Gedung-gedung yang dihancurkan Daendels ini kemudian puing-puingnya ia jadikan untuk bahan pusat pemerintahan baru di sekitar Lapangan Banteng yang kini menjadi Departemen Keuangan.
Departemen Keuangan ini dia maksudkan sebagai bangunan untuk dijadikan istana pemerintahan. Dia juga membangun Lapangan Gambir (kini Monas) dan gedung-gedung di sekitarnya. Lapangan Monas yang ia juluki Champl ded Mars hingga kini merupakan lapangan terbesar dan terluas di dunia. Warga Belanda yang hijrah ke pusat kota baru di sekitar 15 km dari Kota Tua sangat puas tinggal di daerah selatan yang mereka namakan Weltevreden. Weltevreden yang harfiahnya memang berarti “Sangat Memuaskan”, jauh lebih bersih dari kota lama di sekitar pasar ikan.
Pendiri Kota Batavia, Gubernur Jenderal JP Coen, juga dipersalahkan terhadap banjir yang hingga kini masih melanda Jakarta. Ada yang menyesalkan mengapa ia tidak membangun pusat pemerintahan di tempat yang lebih tinggi. Alasannya, karena berdekatan dengan Pelabuhan Sunda Kelapa yang menjadi salah satu pusat perdagangan.