Rabu 03 Jul 2024 15:35 WIB

Di Balik Israel Serang Gaza, Ada Niat Zionis Kuasai Gas dan Minyak Palestina

Israel tak ingin hentikan serangan ke Jalur Gaza dengan dalih hancurkan Hamas.

Rep: Thr/ Red: Teguh Firmansyah
Serangan udara Israel ke Jalur Gaza
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Israel tak henti-hentinya menggempur Jalur Gaza. Lebih dari 37 ribu warga Palestina terbunuh dalam serangan Zionis. Dorongan gencatan senjata yang disodorkan negara-negara dunia diabaikan oleh Israel.

Pun demikian dengan permintaan Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata, tetap diabaikan oleh otoritas Zionis. Lantas mengapa Israel tak mau kunjung berhenti?

Baca Juga

Perdana Menteri Netanyahu menegaskan, Israel akan terus melancarkan operasi memburu Hamas. Mereka tidak akan berhenti untuk menggempur Gaza sampai Hamas benar-benar kalah.

Namun beredar spekulasi ada hal lain di balik serangan Israel ke Hamas. Dugaan tersebut terkait dengan motif ekonomi mengingat Palestina memiliki sumber daya alam berlimpah. 

Seperti dilansir  researchcentre.trtworld.com, sejak awal, Perdana Menteri Israel Netanyahu telah menjalankan strategi pembersihan etnis dengan memaksa warga Gaza pindah ke selatan dan mencari nafkah di Rafah atau gurun pasir di Semenanjung Sinai.

Kondisi itu merupakan cerita yang paling nyata.  Namun sspek lain yang kurang dipublikasikan adalah penegakan hak warga Palestina untuk mengawasi cadangan minyak dan gas alam mereka. 

Hak ini sangat penting bagi keberlangsungan negara Palestina di masa depan, dan langkah Israel merampas sumber daya sah rakyat Palestina telah menghentikan cita-cita negara mereka.

Dengan cara sama, hegemoni Israel atas cadangan minyak dan gas di wilayahnya mencerminkan ambisi jangka panjang untuk menjadi pusat energi dan penghubung konektivitas regional.

"Oleh karena itu, seperti halnya upaya pemukim kolonial lainnya, pemindahan dan pembunuhan massal hanyalah harga yang harus dibayar untuk melanjutkan eksploitasi sumber daya yang kejam dari penduduk asli," tulis Burak Elmali peneliti di TRT World Research Centre di Istanbul dikutip dari laman TRT. 

Permasalahan sumber daya gas alam Palestina mengemuka pada tahun 1999 ketika British Gas Group (BG) memulai eksplorasi di wilayah ladang gas luas yang terletak 17 hingga 21 mil laut di lepas pantai Gaza.

Dikenal sebagai Gaza Marine, ladang ini berada dalam batas kendali 20 mil yang diberikan kepada Otoritas Palestina (PA) berdasarkan Perjanjian Oslo II tahun 1995.

Pemimpin PA Yasser Arafat, tulis Elmali, menandatangani kontrak izin eksplorasi selama 25 tahun dengan konsorsium yang terdiri dari Consolidated Contractors Limited (CCC), British Gas Group (BG), dan Palestine Investment Fund (PIF). Setahun kemudian, pada tahun 2000, BG menemukan dua ladang dengan cadangan total 1,4 triliun kaki kubik di Laut Gaza.

Pada 2001, terpilihnya Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri menandakan sikap yang lebih keras terhadap Palestina sehingga menyebabkan periode yang penuh gejolak.

Namun, menurut Elmali, keputusan Mahkamah Agung Israel secara dramatis menantang kedaulatan Palestina mengenai kendali dan hak keuntungan atas ladang-ladang ini. Alhasil perjanjian-perjanjian yang diusulkan pada umumnya dihentikan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement