REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla (JK) mengingatkan bahwa setiap konflik bisa diselesaikan dengan dialog dan tidak mesti berakhir perang. Hal tersebut mengingat adanya konflik antara Israel dan Palestina yang seakan tak berujung, bahkan telah melibatkan Iran dan Amerika Serikat (AS).
"Ini juga untuk mengenang Presiden ke-10 Filipina Martti Ahtisaari, sekaligus menjadi pembelajaran bahwa sebuah konflik bisa diselesaikan dengan dialog. Tidak perlu perang," kata JK usai menghadiri Martti Ahtisaari Legacy Seminar bertajuk The Future of Peace Mediation di Jakarta, Senin, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Untuk itu, menurut JK, sosok utama yang menjadi penentu selesainya konflik antara Israel dan Palestina, yakni Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Ia menegaskan bahwa setiap konflik bisa dicarikan solusi atau jalan keluar, namun dengan beberapa catatan, seperti pentingnya sosok seorang mediator.
Syarat seorang mediator, kata dia, yakni kepercayaan serta bagaimana membuat kehormatan untuk semua. "Jadi jangan sampai ada yang merasa kalah dan ada yang dipermalukan," ungkapnya.
Martti Ahtisaari merupakan mediator damai Aceh dan pemerintah RI. Mantan Presiden Finlandia itu bahkan mendapat penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 2008 atas upayanya menyelesaikan konflik internasional, khususnya di Namibia, Kosovo, dan Aceh (Indonesia).
Komite Nobel mengakui kontribusi Ahtisaari yang signifikan terhadap mediasi perdamaian selama lebih dari tiga dekade, yang mencakup beberapa benua.
Sebelumnya, Menteri Urusan Strategis Israel Ron Dermer dikabarkan menghadapi tekanan dari Pemerintah AS selama kunjungannya di Washington pada Senin, untuk segera mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan di Jalur Gaza.
The Times of Israel mengutip sejumlah sumber yang mengatakan bahwa perbedaan besar dalam perundingan gencatan senjata adalah tuntutan kelompok perlawanan Palestina, Hamas, untuk mengakhiri perang secara permanen.
Di sisi lain, Israel hanya ingin menghentikan pertempuran untuk sementara dengan opsi melanjutkan serangan di kemudian hari.
Hamas juga menuntut agar sistem distribusi bantuan kemanusiaan kembali menggunakan mekanisme lama atau dibentuk sistem baru sebagai pengganti Gaza Humanitarian Foundation (GHF) — mekanisme yang saat ini dikelola oleh swasta dengan dukungan Israel dan AS.