Jumat 28 Jun 2024 06:38 WIB

Mengenang Tragedi Terorisme di Makkah 1979: Latar dan Faktor

Musim haji pada tahun 1979 M/1400 H diusik oleh serangan teroris di Masjidil Haram.

Asap membubung tinggi dari kawasan Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. Pada 1979, Masjid Suci diserang sekelompok teroris.
Foto:

Sebagai bagian dari Bani al-‘Utaibi, Juhaiman terdoktrin untuk membangga-banggakan kabilahnya dan sekaligus menaruh dendam pada Saudi. Kisah-kisah yang sering didengarnya dari para tetua mengenai Perang Sabilla, misalnya, dianggap sebagai kebanggaan. Ia pun meyakini bahwa pemerintah Saudi telah mengkhianati ajaran Islam yang murni—versi mereka—karena telah bergandengan tangan dengan Barat.

Juhaiman al-‘Utaibi saat berusia 19 tahun bergabung dengan kesatuan tentara nasional Arab Saudi. Di luar dinas ketentaraan, dirinya mengikuti kajian-kajian keagamaan yang diisi Syekh Abdul Aziz bin Baz. Pada akhirnya, perhatiannya pada ilmu-ilmu agama lebih besar daripada dunia militer.

Pada 1955, Juhaiman memutuskan untuk kembali menjadi sipil. Kemudian, ia mendaftar di Universitas Islam Madinah dengan mengambil jurusan ilmu agama (ushul ad-din). Sebagai seorang mahasiswa, pemuda ini memiliki banyak kawan dan disukai para guru karena kepribadiannya yang mudah bergaul dan menyenangkan.

photo
Logo Ikhwanul Muslimin - (tangkapan layar wikipedia.org)

Pengaruh IM

Sementara itu, pada medio 1960-an situasi politik di dunia Arab kian berguncang. Di Mesir, presiden Gamal Abdul Nasser memberangus kelompok Ikhwanul Muslimin (IM). Terlebih lagi, sesudah sejumlah aktivis gerakan itu disebut-sebut hendak merencanakan pembunuhan terhadap dirinya.

Pada 1965, pemerintah Mesir menangkap sejumlah tokoh IM, termasuk Sayyid Qutb dan saudaranya, Muhammad Qutb. Yang pertama itu dihukum mati, sedangkan yang lain terbebas dari eksekusi. Namun, Muhammad Qutb kemudian berhasil kabur ke luar negeri dan mendapatkan suaka dari Arab Saudi.

Waktu itu, hubungan antara Saudi dan Mesir merenggang. Raja Faisal pun menyambut baik kedatangan tokoh-tokoh intelektual yang berseberangan dengan Nasser. Muhammad Qutb lalu dipersilakan untuk bekerja sebagai pengajar di Universitas Jeddah (kini King Abdul Aziz University)—sumber lain menyebut Universitas Umm al-Qura Makkah.

Sejak saat itu, kian banyak tokoh-tokoh atau para simpatisan IM yang belajar di kampus-kampus Arab Saudi. Di Universitas Islam Madinah, Juhaiman al-‘Utaibi berinteraksi dengan beberapa pendukung IM. Mereka lalu menyebarkan ideologi dan pemikirannya sehingga Juhaiman terpengaruh. Bahkan, ia ikut pada kesimpulan bahwa Nasser adalah seorang pemimpin yang “murtad” karena menolak penerapan syariat Islam di Mesir dan mendukung nasionalisme—yang dipandang sebagai produk Barat.

Walaupun Saudi dan Mesir secara politik berbeda, kedua negara Arab ini sama-sama membuka diri pada Barat. Terlebih lagi bagi Kerajaan, yang kian bergantung pada tambang-tambang minyak bumi. Penambangan “emas hitam” tidak bisa dilakukan tanpa bekerja sama dengan pihak-pihak dari Eropa maupun Amerika. Alhasil, modernitas kian memasuki negeri jazirah ini.

Mulai era 1970-an, publik Arab Saudi kian mengenal produk-produk modern Barat. Sebagai contoh, televisi yang semakin digemari warga Kerajaan di rumah-rumah mereka. Siaran TV acap kali menayangkan unsur-unsur khas dunia modern (Barat), semisal pembawa berita perempuan.

Menyaksikan itu semua, Juhaiman al-‘Utaibi yang telah terpengaruh pemikiran para simpatisan IM tidak bisa menerimanya. Menurut dia, negerinya telah gegabah karena terbuka pada nilai-nilai modern (Barat) yang dipandang bertentangan dengan hukum Islam. Ia pun menyamakan rezim Nasser dengan pemerintah Saudi. Maka, orang-orang Mesir (baca: IM) mampu melawan Nasser, mengapa rakyat Saudi tidak bisa, demi tegaknya syariat? [BERSAMBUNG]

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement