Rabu 26 Jun 2024 19:29 WIB

BKKBN: Childfree Bahayakan Masa Depan Bangsa

Childfree dari sisi kesehatan disebut dapat berbahaya bagi kaum perempuan.

Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo menyebut, keputusan pasangan nikah untuk tidak memiliki anak (childfree) membahayakan masa depan bangsa.
Foto: Dok. BKKBN
Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo menyebut, keputusan pasangan nikah untuk tidak memiliki anak (childfree) membahayakan masa depan bangsa.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo mengatakan, keputusan pasangan nikah untuk tidak memiliki anak (childfree) membahayakan masa depan bangsa. Hal tersebut dinyatakan lantaran Indonesia belum mengalami bonus demografi, ditambah dengan kondisi generasi lanjut usia Indonesia yang rata-rata berpendidikan rendah.

"Jadi nanti kan populasi yang sekarang sudah usia hampir tua itu kan banyak. Generasi 'baby boom' ini kan banyak. Kalau ini naik menjadi usia tua, (generasi) yang di bawahnya itu sedikit, itu berbahaya," kata Hasto saat ditemui di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (26/6/2024).

Baca Juga

Menurut Hasto, keputusan childfree yang memangkas bonus demografi Indonesia akan menyebabkan struktur demografis yang tidak seimbang. "Kan orang tua sekarang pendidikannya rendah, ekonominya rendah. (Dengan keputusan childfree) struktur demografisnya tidak imbang. Jadi ini agak berat kalau Indonesia seperti itu. Kalau bonus demografi belum terjadi, terus kita terjadi begitu (childfree), waduh berat," ungkap Hasto.

Menurut Hasto, keputusan childfree di negara-negara maju seperti Jepang berdampak beda dengan keputusan childfree di Indonesia. "Orang Jepang sih yang tua, pendidikannya tinggi, ekonominya maju. Tapi kita (Indonesia) yang tua kan pendidikannya masih rendah," kata Hasto.

Hasto juga menyoroti masalah childfree dari sisi kesehatan yang dapat berbahaya bagi kaum perempuan. Misalnya pada kasus kanker payudara. "Nikah dan hamil itu sehat loh. Karena orang yang punya kanker payudara, juga cenderung orang yang tidak menyusui. Sehingga menyusui, memberikan air susu, hamil, itu memberikan kesehatan," kata Hasto.

Selain itu, kata dia, wanita yang hanya memiliki satu anak lebih berisiko terkena kanker rahim. "Orang yang kena kanker rahim, bukan mulut rahim loh. Beda antara mulut rahim dan rahim. Orang yang punya kanker rahim itu cenderung anaknya hanya satu, orangnya gemuk dan tensinya tinggi. Itu juga akhirnya (potensi) kanker rahim meningkat. Orang yang kena (penyakit) miom pada rahim juga orang yang tidak menikah," kata Hasto.

Karena itu, ia menyarankan anak muda agar mengesampingkan hal-hal emosional dan tidak mengambil keputusan childfree. "Jadi hati-hati, jangan pertimbangannya emosional. Karena fungsi seorang perempuan hamil dan melahirkan itu ternyata ada manfaat, tidak hanya masalah keseimbangan penduduk. Tapi kalau saya sendiri program saya mendorong untuk jangan childfree," kata Hasto.

Menurut dia, jumlah penduduk yang besar dan terukur juga berpengaruh pada perkembangan ekonomi. "Dan juga marilah menikah, supaya Indonesia tetap menempati urutan antara 4-6 besar penduduk dunia. Kalau ekonomi kita mau 4 besar atau 6 besar atau 7 besar, kalau penduduknya tidak besar, tidak ada ekonomi besar," kata Hasto.

Menurut dia, angka melahirkan yang ideal untuk setiap pasangan menikah adalah 2,1 dan hingga kini rata-rata pasangan di Indonesia melahirkan 2,18 anak. "Harusnya perempuan itu rata-rata punya anak 2,1. Secara nasional angkanya 2,18. Tapi di Jawa Tengah itu 2,04. Jadi sudah terlalu sedikit, akan menjadi 'zero growth' atau 'minus growth'. Ada sedikit banyak ada pengaruhnya (dari) itu (childfree)," kata Hasto.

Berdasarkan sejumlah data, presentasi jumlah lansia sebesar 11,75 persen dari total populasi penduduk Indonesia pada 2023. Dari 11,75 persen tersebut, sebanyak 32,42 persen menamatkan Sekolah Dasar (SD) kemudian 29 persen tidak tamat SD. Sedangkan 10,60 persen yang tamat Sekolah Menengah (SM) sederajat, 9,62 persen yang tamat SMP sederajat, dan hanya 6,77 persen yang pernah menempuh perguruan tinggi.

sumber : Antara

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement