Rabu 19 Jun 2024 13:55 WIB

Kisah Habib Golkar dan Serangan Fajar

Sejak lama para habaib mewarnai perjalanan bangsa.

Massa Partai Golkar berkampanye menjelang Pemilu 1997.
Foto:

Berdasarkan sebuah data dalam artikel “Mengarungi Indonesia” disebutkan bahwa jumlah keturunan Arab di Jawa lima juta jiwa. Saya memperkirakan jumlah sebenarnya jauh di atas jumlah tersebut. Umumnya, mereka telah melebur diri sebagai bangsa Indonesia yang mereka lontarkan dalam Sumpah Pemuda tahun 1934.

Belanda sendiri tahu benar bahwa proses asimilasi keturunan Arab di Indonesia sudah berjalan ratusan tahun. Sebagai bukti, Prof Van den Berg, seorang orientalis Belanda, menyebut bahwa keluarga Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, Kesultanan Kalijogo, dan Kesultanan Drajat merupakan keturunan Arab.

Demikian pula, keluarga Adiningrat di Magelang, yakni keturunan Sayid Ali Baseban, menantu Rijksbedsuurder, Kesultanan Yogyakarta bernama Raden Adipati Danuredjo. Contoh-contoh lain, Kesultanan Pontianak (Algadri) dan Kesultanan Siak (Shahab).

Tentang peranan keturunan Arab dalam Sarekat Islam (SI) dapat kita baca pada laporan rahasia Dr Hazeu mengenai kongres SI di Surabaya pada 1915 dan kongres SI di Bandung tahun 1916. Nama-nama yang disebut dalam laporan itu, yakni Sayid Hasan bin Semit dan Sayid Alim Algadri. Keduanya turut aktif dalam kongres tersebut.

Hasan bin Semit merupakan wakil Surabaya dalam kongres di Bandung dan dianggap sebagai salah seorang yang paling menonjol bersama HOS Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis. Kemudian laporan itu menyatakan bahwa “pengaruh Arab” terhadap gerakan ini atau lebih tepat terhadap pengurus besarnya tampak juga meningkat.

Kembali ke masa-masa sebelumnya, ketika abad ke­18 dan 19 mulai banyak berdatangan para imigran dari Hadramaut, Belanda sengaja ingin menjauhkan mereka dari pribumi. Warga keturunan Arab ini ditempatkan di Pekojan, bekas para imigran dari India tinggal.

Kata Pekojan ini sendiri berasal dari kata tempat di India, yaitu Koja. Di kampung ini warga keturunan Arab mendirikan tempat-tempat ibadah yang sampai kini masih kita dapati. Yang hebat, mereka mendirikan sekolah modern tahun 1901 yang dinamakan Jamiat Khair oleh Shahab bersaudara, Ali dan Idrus.

Pada 1913 Jamiat Khair mendatangkan Syekh Ahmad SYurkati dari Sudan. Dia pada 1913 mendirikan Al-Irsyad, yang seperti juga Jamiat Khair, kemudian berkembang di berbagai daerah di nusantara. Syurkati didatangkan ke Indonesia dari Sudan.

Bukan hanya HOS Tjokroaminoto, H Agus Salim, dan sejumlah tokoh Islam lainnya ikut menyokong kedua organisasi ini, melainkan kelompok nasionalis juga ikut serta. Termasuk dari Boedi Oetomo yang baru didirikan tahun 1908.

Kembali kepada imigran dari Hadramaut, sejak lama jauh sebelum orang-orang dari Hadrami berimigrasi, mereka sudah dikenal sebagai pedagang dan pelaut, mirip dengan bangsa Phu Nisia kuno (sekarang Lebanon dan Suriah).

Perdagangan maritim mereka sudah mulai aktif sejak lima abad sebelum Masehi. Menurut majalah Historia, mereka sempat mengalami kemunduran, namun bangkit kembali setelah masuknya agama Islam.

Rute perdagangan antara orang Hadramaut dan nusantara telah terjalin sejak abad ke-7, tidak lama setelah berdirinya agama Islam. Mereka berdagang sambil menyiarkan agama Islam. Begitu akrabnya mereka dengan masyarakat setempat karenanya banyak orang Hadrami di Indonesia menetap secara permanen. Bahkan, setelah perjalanan dengan kapal uap lebih mudah. Namun karena alasan keluarga atau bisnis, mereka jarang pulang akibat biaya dan lamanya perjalanan.

Menurut Van den Berg, seorang pejabat pemerintah Belanda, sebagian besar orang Arab yang datang ke Indonesia dari Hadramaut. Kalaupun menetap, mereka berbaur dengan orang Arab dari Hadramaut. Di nusantara umumnya orang Arab berbisnis sebagai pedagang perantara, dengan membeli barang dalam partai besar dan kemudian menjualnya secara eceran.

Saya teringat tahun 1940-an dan 1950-an, orang-orang Arab di Indonesia kerap mengumpulkan uang untuk mereka kirimkan kepada saudara-saudara mereka di Hadramaut. Waktu itu, banyak keturunan Arab di Indonesia yang mendapatkan pendidikan di Hadramaut selama tiga sampai lima tahun.

Sekarang ini kembali banyak jamaah dari Indonesia yang mengirimkan putra, bahkan ada juga putrinya ke Hadramaut. Kebanyakan mereka menempuh pendidikan dengan sistem pesantren di Tarim; tempat Habib Umar Syekh Abubakar.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement