REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Ray Rangkuti menanggapi soal pencabutan aturan batas usia calon kepala daerah (cakada) oleh Mahkamah Agung (MA), dan disinyalir mengakomodasi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden RI Joko Widodo untuk maju di Pilkada 2024. Putusan tersebut dinilai tidak objektif dan tidak rasional.
Ray menilai putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputuskan oleh Majelis Hakim pada Rabu, (29/5/2024) itu menimbulkan kontroversi di mata publik. Hal itu mengingat sebelumnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang persyaratan usia capres/cawapres menjadi celah bagi putra sulung Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju di Pilpres 2024, bahkan menang dan menjadi Wakil Presiden RI 2024--2029.
"Sebelumnya MK membatalkan batas minimal 40 tahun bagi calon pasangan presiden/wakil presiden bagi seseorang yang sudab punya pengalaman di jabatan eksekutif, kini Mahkamah Agung juga membuat putusan yang intinya hampir sama dengan putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi tersebut," tutur Ray dalam keterangannya, Kamis (30/5/2024).
Dalam putusan MA tersebut, MA membatalkan pencalonan yang dihitung sejak pasangan calon ditetapkan menjadi sejak pelantikan pasangan calon dilaksanakan dengan usia minimal 30 tahun. Diketahui, Kaesang saat ini masih berusia 29 tahun dan akan menginjak 30 tahun pada Desember 2024, sedangkan pendaftaran paslon pada Agustus 2024 dan penetapan paslon pada September 2024.
"Putusan MA tersebut terlalu dipaksakan, bernuansa tidak objektif dan (tidak) rasional," ujar Ray.
Pandangannya tersebut, menurut penjelasan Ray menitikberatkan pada empat alasan. Hal itu terutama kaitannya dengan penentuan jadwal pelantikan kepala daerah yang belum jelas.
"(Alasan) pertama, menetapkan penghitungan batas usia sejak pelantikan itu adalah keliru. Mengapa? Sebab, pelantikan kepala daerah bukan lagi kewenangan KPU. Jadwal pelantikan kepala daerah sepenuhnya merupakan wewenang Presiden," tutur Ray.
Kedua, jadwal pelatikan juga tidak dapat dipastikan kapan waktunya. Itu sangat tergantung pada jadwal Presiden sebagai kepala negara dan pemerintah.
"Seperti saat ini, kenyataannya pemerintah belum membuat jadwal defenitif kapan pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 akan dilaksanakan," kata dia.
Lebih rumit lagi, lanjutnya, karena pelantikan kepala daerah dimaksud tidak akan dilaksanakan oleh pemerintah yang membuat jadwal, tetapi oleh presiden yang sesudahnya. Hal itu bisa saja presiden yang sesudahnya mengubah jadwal yang ditetapkan oleh pemerintah yang sebelumnya.
"Ketiga, berdasarkan hal itulah putusan MA itu justru bertentangan dengan tujuan MA membuat ketentuan baru: kepastian hukum. Menetapkan penghitungan batas usia sejak pelantikan justru lebih tidak pasti, dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya yakni dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU. Alias putusan MA justru bertentangan dengan alasan mereka membatalkan PKPU," terangnya.
Alasan keempat, secara umum, seluruh jabatan yang menyaratkan adanya pembatasan minimal usia, hampir seluruhnya dihitung bukan sejak dilantik. Baik calon penyelenggara pemilu, Komisioner KPK, KY, atau Hakim MK, dan lainnya, bahkan calon hakim agung MA.
"Batas usia pencalonan, tidak dihitung sejak pelantikan, tapi sejak didaftarkan atau sejak ditetapkan sebagai calon. Karena memang sampai di situlah kewenangan pansel dan adanya kepastian jadwal," ujarnya.
"Di sinilah, putusan MA itu berbau putusan MK. Dibuat tidak berdasarkan pertimbangan objektif tapi subjektif. Untuk siapa? Kita tunggu waktu menjawabnya," lanjutnya.