Senin 20 May 2024 15:24 WIB

Uang Kuliah di PTN Mahal, Lalu ke Mana 'Larinya' Anggaran Pendidikan Rp 665 Triliun?

Alokasi anggaran pendidikan di RI Rp 665,02 triliun atau 20 persen dari APBN 2024.

Ratusan mahasiswa USU saat melakukan aksi demo ke biro rektor USU mempertanyakan kenaikan UKT.
Foto:

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan, tidak semua lulusan sekolah lanjut tingkat atas (SLTA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) wajib masuk ke perguruan tinggi. Sebab, perguruan tinggi termasuk ke dalam tertiary education atau edukasi tersier, bukan wajib belajar.

“Pendidikan tinggi ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib,” ucap Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Tjitjik Srie Tjahjandarie di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Tjitjik mengatakan, pendidikan tinggi berbeda dengan wajib belajar, yakni pendidikan tingkat sekolah dasar hingga SLTA/SMK. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pendanaan pemerintah untuk pendidikan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Sebab, kata dia, hal itu adalah amanat undang-undang.

“Bagaimana untuk pendidikan tinggi? Tentunya pemerintah tetap bertanggung jawab. Tapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN),” terang dia.

Dia menjelaskan, idealnya, jumlah BOPTN yang diberikan itu sama dengan biaya kuliah tunggal (BKT). Jika pemerintah bisa memberikan pendanaan BOPTN sama dengan BKT, maka pendidikan tinggi itu akan gratis. Tetapi, yang jadi persoalan adalah dana pendidikan Indonesia yang tidak mencukupi.

“Karena prioritas utama adalah untuk pendidikan wajib. Nah, selama ini, bantuan BOPTN ke perguruan tinggi itu belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidik,” kata dia.

Karena itu, kata Tjitjik, mau tidak mau diperlukan peran serta masyarakat atau gotong-royong untuk mendidik bangsa in. Menurut dia, gotong royong diperlukan agar masyarakat bisa mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan harapan dapat semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

“Sehingga begitu BKT ditetapkan, kemudian kita melihat bantuan pemerintah itu tidak akan mencukupi untuk menurut BKT, maka kita memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk dapat memungut uang kuliah tunggal (UKT),” jelas dia.

Namun, dia menegaskan, pemerintah tetap melarang adanya komersialisasi perguruan tinggi negeri. Hal tersebut, kata dia, sudah jelas diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Di mana, selain melarang adanya komersialisasi, perguruan tinggi negeri juga harus bersifat inklusif.

“Perguruan tinggi itu harus dapat diakses oleh masyarakat yang punya kemampuan akademik tinggi, baik dari yang kurang mampu maupun yang kaya atau yang mampu. Ini sudah kebijakannya,” tutur Tjitjik.

photo
Komik Si Calus : UKT Pinjol - (Republika/Daan Yahya)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement