Kamis 16 May 2024 05:44 WIB

Revisi UU Kementerian Dinilai Cermin DPR Mengabdi pada Kepentingan Penguasa Bukan Rakyat

"Kalau publik keras menolak ya harus dipertimbangkan karena DPR wakil rakyat."

Badan Legislasi (Baleg) DPR memulai pembahasan revisi UU Kementerian Negara yang diisukan untuk menambah nomenklatur kementerian dari 34 menjadi 40, di Ruang Rapat Baleg, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Foto: Republiika/Nawir Arsyad Akbar
Badan Legislasi (Baleg) DPR memulai pembahasan revisi UU Kementerian Negara yang diisukan untuk menambah nomenklatur kementerian dari 34 menjadi 40, di Ruang Rapat Baleg, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Nawir Arsyad Akbar

Pengamat parlemen yang juga Peneliti Forum Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengkritik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyangkut pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Lucius menilai, para anggota parlemen lebih mengabdikan diri pada kepentingan elite. 

Baca Juga

"Entah masih relevan atau tidak ya bicara etika dalam proses pembentukan legislasi kita. Yang jelas sih DPR kali ini memang memperlihatkan betapa peran legislasi mereka lebih banyak atau bahkan hampir semuanya diabdikan untuk kepentingan elite saja," kata Lucius saat dihubungi Republika, Rabu (15/5/2024).  

Dia menuturkan, dari sisi legislasi untuk tujuan terciptanya 'bonum commune', menurutnya bisa dikatakan tidak etis ketika tugas legislasi DPR sebagai wakil rakyat dilakukan untuk mengabdi pada penguasa semata. Dia menekankan bahwa legislasi itu untuk rakyat atau untuk kepentingan bersama, bukan segelintir kalangan pejabat saja.  

"Terkait revisi UU kementerian negara yang sebelumnya tak direncanakan dalam daftar Prolegnas 2024, DPR nampaknya lagi-lagi sedang menjalankan peran mereka sebagai abdi penguasa. Ya bisa penguasa yang sekarang, bisa yang akan datang, yang jelas kebutuhan penambahan kementerian itu milik pemerintahan mendatang sehingga bisa dikatakan kerja DPR sekarang untuk kepentingan penguasa yang akan datang," jelasnya. 

Lucius menuturkan, tidak heran munculnya kecurigaan mengenai revisi UU Kementerian Negara karena bersamaan dengan wacana presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 kementerian. Sementara alasan atau latar belakang revisi beleid tersebut adalah Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2011 alias lebih dari satu dekade yang lalu.  

"Kalau saja revisi UU Kementerian Negara didahului dengan studi serius mengenai evaluasi dan peta kebutuhan di kabinet dan di masyarakat, mungkin kita bisa menganggap revisi ini dilatari oleh munculnya sebuah tuntutan kebutuhan bangsa. Sayangnya ide revisi ini baru muncul ketika pembicaraan soal kabinet yang akan datang menemukan hambatan karena kuota menteri sesuai UU Kementerian dibatasi jadi 34 saja," tuturnya. 

Padahal, lanjut Lucius, misi rekonsiliasi pemerintahan mendatang nampaknya ingin mengakomodasi semua parpol dan kekuatan politik. Itu artinya agar bisa merata, maka mesti dibuka ruang kementerian dengan jumlah yang lebih banyak. 

"Ini benar-benar akan menjadi senjata Presiden untuk leluasa membagi-bagi kursi kabinet bagi mereka yang mendukungnya. Untuk kepentingan Presiden itu sajalah urusan revisi UU Kementerian Negara ini. Enggak lebih," tegasnya.  

Ihwal argumentasi DPR bahwa revisi UU Kementerian Negara terkait dengan putusan MK nomor 79/PUU-IX/2011 yang diketok pada 2011 atau 13 tahun yang lalu, menurut Lucius, itu adalah alasan yang dicari-cari saja. 

“Saya kira ngeles saja DPR ketika menyebutkan revisi ini untuk menindaklanjuti keputusan MK tahun 2011 silam. Ini alasan agar pembahasan RUU Kementerian Negara bisa masuk jalur kumulatif terbuka, sehingga tak perlu mengikuti standar prosedur pembahasan RUU Prioritas yang harus dimulai dengan pembuatan naskah akademik, penyusunan draf, pembahasan hingga pengesahan,” kata Lucius.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan, sebenarnya revisi UU Kementerian Negara pun dalam konteks kelancaran presiden dan wakil presiden dalam membentuk kabinet, itu merupakan hal yang biasa-biasa saja. Artinya, jika Prabowo memang ingin mengakomodasi banyak kalangan dengan cara menambah kementerian, yang dilakukan memang revisi UU karena UU saat ini membatasi jumlah kementerian hanya 34.

Kendati demikian, menurutnya, DPR dan pemerintah juga mesti mendengarkan aspirasi dari masyarakat yang bersuara menolak itu. Sebab, ada beban keuangan negara yang mesti ditanggung lebih besar.

“Dalam konteks itu ya kita harus melihat secara objektif mungkin Prabowo butuh penambahan nomenklatur, tapi di saat yang sama harus perhatikan keuangan negara dan efisiensi birokrasi dan sebagainya,” tutur Ujang saat dihubungi Republika, Rabu (15/5/2024).

Ujang menegaskan perlunya pembahasan yang lebih mendalam mengenai perlu atau tidaknya penambahan jumlah kementerian ke depan. Dampaknya pada akhirnya juga akan ke publik.  

“Efisiensi anggaran perlu didengar dan diperhatikan. Kalau publik keras menolak ya harus dipertimbangkan aspirasinya karena DPR kan wakil rakyat, Prabowo juga terpilih dari rakyat,” kata dia. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement