Senin 29 Apr 2024 12:33 WIB

Guru Peringkat Pertama Terjerat Pinjol, Komisi X: Bereskan Kesejahteraan Pendidik Kita

Guru menduduki peringkat pertama dari delapan kelompok paling banyak terjerat pinjol.

Guru honorer berunjuk rasa di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (26/1/2024). Guru honorer SD dan SMP dalam Forum Guru Honorer Negeri Non Passing Grade (FGHNPG) menuntut agar diangkat ASN.
Foto: ANTARA FOTO
Guru honorer berunjuk rasa di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (26/1/2024). Guru honorer SD dan SMP dalam Forum Guru Honorer Negeri Non Passing Grade (FGHNPG) menuntut agar diangkat ASN.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Guru menjadi kelompok profesi utama yang paling banyak menjadi korban jeratan pinjaman online (pinjol). Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tersebut menunjukkan bukti jika kesejahteraan masih menjadi masalah utama yang dihadapi oleh para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. 

“Data OJK menyebut guru menjadi kelompok masyarakat yang paling banyak terjerat pinjaman online menjadi salah satu indikator betapa dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi persoalan serius. Tidak mungkin kita bisa membayangkan kemajuan kualitas peserta didik jika sang pendidik masih berjibaku dengan upaya mencukupi kebutuhan sehari-hari,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/4/2023). 

Baca Juga

OJK pekan kemarin mengungkapkan ada delapan kelompok masyarakat yang paling banyak terjerat pinjol. Guru menduduki peringkat pertama dengan prosentase sebesar 42 persen. Disusul kemudian korban PHK sebanyak 21 persen,  kalangan ibu rumah tangga 17 persen. Kemudian 9 persen adalah karyawan, 4 persen pedagang, dan 3 persen pelajar. Lalu, sisanya yakni tukang pangkas rambut dan ojek online masing-masing 2 persen dan 1 persen.

Huda mengatakan, kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi cerita sedih yang tak kunjung berakhir. Sebagian besar guru di Indonesia masih berstatus sebagai tenaga honorer dengan besaran gaji yang cukup memprihatinkan. 

“Kondisi ini hampir bisa dipastikan berkorelasi pada kualitas pembelajaran karena fokus tenaga pendidik akan terpecah di mana satu sisi harus mengajar dan di sisi lain harus berupaya memenuhi kebutuhan dasar,” katanya. 

Dia mengungkapkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun ajaran 2022/2023, ada sebanyak 3,37 juta guru di Indonesia. Dari jumlah tersebut, jumlah guru paling banyak berada di jenjang Sekolah Dasar (SD) yang mencapai 1,61 juta orang. “Mereka tersebar di sekitar 399.376 unit sekolah di seluruh Indonesia,” katanya. 

Pemerintah, kata Huda, memang telah berupaya meningkatkan kesejahteraan para guru. Salah satunya dengan program satu juta guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun upaya ini relatif berjalan lamban di mana hampir empat tahun berjalan program tersebut belum juga tuntas.

“Pengangkatan satu juta guru menjadi PPPK sebenarnya merupakan langkah darurat sebagai solusi persoalan kesejahteraan guru yang belasan tahun tak kunjung tuntas, namun faktanya solusi darurat ini juga tidak berjalan optimal karena hingga saat ini masih ratusan ribu guru yang belum diangkat menjadi PPPK,” katanya. 

Lemahnya koordinasi antarkementerian/lembaga (K/L), lanjut Huda, menjadi kendala utama penuntasan program satu juta guru honorer menjadi PPPK. Lemahnya koordinasi ini menjadi kendala, baik pada proses penentuan formasi, pendaftaran, seleksi, kelulusan, pengangkatan, hingga penempatan guru honorer menjadi PPPK.

“Maka wajar jika saat meskipun ada klaim sebanyak 740 ribu guru honorer telah lulus seleksi PPPK dari Kemendikbudristek namun tidak semua dari mereka mendapatkan surat keputusan (SK) pengangkatan dari Kemenpan RB,” katanya. 

Politikus PKB ini berharap agar semua pemangku kepentingan pendidikan menjadikan persoalan kesejahteraan guru menjadi concern bersama. Menurutnya, kesejahteraan guru menjadi kunci utama perbaikan sistem pendidikan secara menyeluruh.

“Selama ini perbaikan sistem pendidikan kita terkesan parsial dan jalan di tempat karena persoalan utamanya yakni kesejahteraan guru tidak jadi prioritas utama. Dalam pandangan kami, perubahan kurikulum, perbaikan sarana prasarana sekolah, hingga pergantian seragam siswa tidak akan banyak berarti jika guru tidak disejahterakan,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement