Senin 22 Apr 2024 12:40 WIB

MK Nilai Dalil AMIN Soal Jokowi Dukung Gibran Jadi Cawapres tak Cukup Kuat

MK menilai, pemohon tak menguraikan lebih lanjut dan tidak membuktikan dalilnya.

Suasana jalannya sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).  Dalam sidang tersebut para pemohon hadir langsung yaitu Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dan Pasangan capres-cawapres nomor urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana jalannya sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Dalam sidang tersebut para pemohon hadir langsung yaitu Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dan Pasangan capres-cawapres nomor urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menilai dalil Anies-Muhaimin tentang tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden adalah pelanggaran perundang-undangan, tidak cukup kuat. Di dalam permohonannya, Anies-Muhaimin sebagai Pemohon menyatakan bahwa Presiden yang menyetujui dan bahkan mendukung pencalonan Gibran, merupakan pelanggaran atas Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998, Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999, Serta Pasal 282 UU Pemilu.

“Terhadap dalil Pemohon, karena Pemohon tidak menguraikan lebih lanjut dan tidak membuktikan dalilnya, maka Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan akan kebenaran dalil yang dipersoalkan oleh Pemohon,” kata Hakim MK Daniel Yusmic P. Foekh dalam sidang pembacaan putusan perkara PHPU Pilpres di Gedung I MK RI, Jakarta, Senin (22/4/2024).

Baca Juga

Adapun peraturan yang disebutkan dalam dalil tersebut mengatur tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Daniel mengatakan, MK menilai bahwa jabatan wakil presiden yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah jabatan yang pengisiannya melalui pemilihan (elected position) dan bukan jabatan yang ditunjuk atau diangkat secara langsung (directly appointed position).

MK juga beranggapan bahwa jabatan yang terkait dengan larangan nepotisme adalah jabatan yang pengisiannya dilakukan dengan cara ditunjuk atau diangkat secara langsung. “Artinya, jabatan yang diisi melalui pemilihan umum tidak dapat dikualifikasi sebagai bentuk nepotisme,” kata Daniel.

Terkait Pasal 282 UU Pemilu yang didalilkan oleh Pemohon, Daniel mengatakan, pasal tersebut tidak berkenaan dengan proses pencalonan yang berhubungan dengan adanya hubungan nepotisme.

“Jika yang dimaksudkan Pemohon ada kaitannya dengan kegiatan kampanye, telah ternyata undangan pertemuan Presiden dengan ketua umum partai politik pada tanggal 2 Mei 2023 dilakukan sebelum masa pencalonan atau masa kampanye,” ujarnya.

Atas pertimbangan hukum tersebut, MK berpendapat bahwa dalil Pemohon mengenai pelanggaran atas Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, UU Nomor 28 Tahun 1999, dan Pasal 282 UU Pemilu adalah tidak beralasan hukum.

 

 

photo
Putusan MK Berubah Setelah Adik Ipar Jokowi Ikut Rapat - (infografis Republika)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement