REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan dugaan terjadinya monopoli dalam kasus pinjaman online (pinjol) untuk biaya pendidikan yang sempat membelit mahasiswa ITB dan beberapa kampus di Indonesia. Temuan KPPU ini dinilai menjadi alarm agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mempercepat kajian skema kredit pendidikan untuk mahasiswa.
“Temuan KPPU ini tentu membuat kita prihatin. Keterdesakan biaya pendidikan peserta didik ternyata dimanfaatkan entitas penyedia jasa layanan keuangan untuk mengeruk keuntungan. Kami berharap agar Kemenkeu segera menyelesaikan skema kredit mahasiswa agar kasus tersebut tidak kembali terjadi,” ujar Wakil Ketua Komisi XI Fathan Subchi dalam keterangannya, Sabtu (30/3/2024).
Untuk diketahui, KPPU menyatakan telah menemukan adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam polemik pinjaman pendidikan melalui pinjaman daring. Hasil kajian dan pendalaman KPPU sejak Februari 2024 menunjukkan, pelaku usaha terindikasi melakukan monopoli dan menetapkan suku bunga terlampau tinggi. Kasus ini mencuat setelah puluhan mahasiswa ITB protes dengan kebijakan kampus terkait pembayaran uang kuliah tunggal (UKT).
Menkeu Sri Mulyani saat ini diketahui tengah mengkaji skenario student loan bersama LPDP. Menurut Fathan, langkah ini perlu dipercepat agar segera ada kejelasan. Sehingga para mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar UKT dan biaya pendidikan lainnya segera mendapatkan solusi sebagai jalan keluar.
“Jangan sampai mahasiswa kita kembali terjebak pinjaman online untuk membiayai pendidikan mereka. Apalagi kalau harus putus kuliah karena sudah tidak ada lagi sumber biaya,” katanya.
Dia mengungkapkan, program student loan saat ini telah diterapkan di banyak negara. Dengan mekanisme ini tingkat partisipasi kasar pendidikan tinggi di masing-masing negara tersebut bisa meningkat.
“Beberapa negara yang menerapkan kebijakan tersebut di antaranya India, Australia, Selandia Baru, Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat. Di Indonesia juga pernah ada kebijakan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) di awal tahun 1980-an yang terhenti karena tingginya angka gagal bayar,” katanya.
Skenario student loan terbaru, lanjut Fathan, harus mengambil pelajaran dari kegagalan Kredit Mahasiswa Indonesia. Saat itu administrasi penyedia jasa keuangan tidak begitu bagus sehingga gagal memantau dan melacak mahasiswa peserta KMI yang telah menyelesaikan studi.
“Akibatnya saat itu angka gagal bayar KMI mencapai 95 persen dan perbankan mengategorikan kredit mahasiswa sebagai bisnis risiko tinggi. Situasi tersebut tidak boleh terulang pada skenario student loan yang saat ini dibahas oleh Kemenkeu dan LPDP,” katanya.
Politisi PKB tersebut mengungkapkan ada beberapa skema student loan yang bisa diterapkan di Indonesia. Di antaranya kredit lunak seperti kredit mikro dengan bunga 3 persen atau bahkan tanpa bunga. Terkait sumber pendanaan pemerintah bisa menggandeng CSR badan usaha milik negara atau perusahaan besar untuk mendukung program tersebut.
“Dengan kian bagusnya administrasi kependudukan saat ini upaya pemantauan dan pelacakan peserta kredit mahasiswa akan lebih mudah sehingga meminimalkan potensi gagal bayar,” ujar Fathan.