Kamis 21 Mar 2024 06:04 WIB

'Jika PPN Naik Jadi 12 Persen, Kelas Menengah Seperti Digebuk Lagi'

Kalangan DPR meminta pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan PPN jadi 12 persen.

Pajak (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pajak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 8 Maret 2024 lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen pada 2025. Menurut Airlangga, kenaikan PPN salah satunya menjadi konsekuensi terpilihnya pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN (12 persen),” kata Airlangga.

Baca Juga

Kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

Dalam Pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen. Namun, kata Airlangga, penyesuaian peraturan itu tergantung dari kebijakan pemerintah selanjutnya. Dia menjelaskan bahwa kenaikan PPN akan dibahas lebih lanjut dalam penyusunan APBN 2025 bulan depan.

“Tentu satu bulan ke depan sudah ada keputusan, 20 Maret (2024). Sehingga dengan demikian, APBN 2025 kan pelaksananya pemerintah yang akan datang. Jadi pemerintah yang akan datang sudah mendapatkan kepastian sesudah pengumuman, dan program yang masuk APBN adalah program yang akan dijalankan pemerintahan mendatang,” jelasnya.

Pernyataan Airlangga itu kemudian menjadi polemik khususnya di media sosial. Hingga akhirnya dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Gedung DPR, Senayan pada Selasa (19/3/2024), para anggota Komisi XI DPR mengkritisi rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen.

Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menilai kenaikan PPN 12 persen akan berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat. Khususnya, di kalangan kelas menengah yang pendapatannya di kisaran Rp 4-5 juta per bulan.

Menurutnya, berbeda dengan kelompok bawah atau masyarakat miskin yang menjadi target sasaran kebijakan bantuan sosial (bansos) pemerintah, kelompok menengah tidak memiliki ketahanan yang cukup untuk mengakomodasi kenaikan inflasi. Sementara itu, kelompok menengah memiliki peran signifikan dalam menopang perekonomian. Bila kelompok ini tidak mendapatkan perhatian, ada kemungkinan masyarakat kelas menengah turun kelas ke kelompok miskin.

“Kami ingin agar kenaikan PPN 12 persen dikaji kembali,” ujar Andreas dikutip dari kanal Youtube TV Parlemen.

Andreas mengakui, UU HHP dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR. Namun, menurut Andreas, saat itu keputusan dibuat dengan alasan agar kenaikan PPN secara bertahap tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam negeri dan luar negeri contohnya suku bunga The Fed.

 

"Jangan kemudian kondisinya, The Fed belum tentu semester satu menurunkan tingkat bunga. Pada saat itu kalau kita istilahnya tadi golongan menengah ini digebuk lagi dengan kenaikan PPN, itu bukannya malah akan memperlambat pertumbunhan ekonomi? Yang nantinya juga akan berdampak pada penerimaan negara."

Anggota Komisi XI DPR dari PKS, Anis Byarwati juga mengutarakan hal senada dalam rapat itu. Sejak awal, menurutnya, PKS memang menolak rencana kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen. 

"Tapi kami juga ikut prihatin. Di tengah harga beras naik, PPN juga ikut naik 12 persen, tol juga ikut naik. Jadi, daya beli masyarakat yang memang sudah lemah, makin terpuruk kembali," tuturnya dalam rapat.

Anis setuju dengan Andreas bahwa masyarakat kelas menengah pasti tidak akan dapat Bansos. Mereka memang tidak termasuk kelompok miskin yang berhak menerimanya. Namun secara finansial, mereka belum bisa dibilang aman.

"Dibilang sudah aman juga tidak, karena pendapatannya tidak memungkinkan dia untuk bergerak lebih lincah. Menahan belanja, mungkin."

Merespons kritik dari DPR, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo memastikan pemerintah terus mengkaji kebijakan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada 2025. Dia menjelaskan kebijakan tersebut telah ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, pemerintah juga memantau perkembangan terkini.

“Kajian akan terus kami jalankan, dan transisi pemerintah juga akan terjadi, jadi kami juga menunggu,” ujar Suryo saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa.

photo
Karikatur Opini Republika : Pajak Kita untuk (Kita) - (Republika/Daan Yahya)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement