Rabu 20 Mar 2024 18:58 WIB

Kejagung Bertanya ke KPK: Tangani Kasus LPEI yang Mana?

KPK umumkan penyidikan sehari setelah Sri Mulyani laporkan kasus LPEI ke Jaksa Agung.

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin (kiri) menerima surat laporan dugaan korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (18/3/2024). Sri Mulyani melaporkan adanya indikasi dugaan korupsi atau fraud dalam pemberian fasilitas kredit LPEI dengan nilai total mencapai Rp2,505 triliun.
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin (kiri) menerima surat laporan dugaan korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (18/3/2024). Sri Mulyani melaporkan adanya indikasi dugaan korupsi atau fraud dalam pemberian fasilitas kredit LPEI dengan nilai total mencapai Rp2,505 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Rizky Suryarandika

Kejaksaan Agung (Kejagung) mempertanyakan sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta Korps Adhyaksa menghentikan proses hukum atas pelaporan dugaan korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana mengatakan laporan korupsi LPEI oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin, pada Senin (18/3/2024) belum tentu kasus sama yang sejak Selasa (19/3/2024) diumumkan dalam penyidikan oleh KPK.

Baca Juga

“Yang dimaksud (oleh KPK) dengan menghentikan itu yang mana? Dan yang ditangani KPK juga (kasus) yang mana?,” begitu kata Ketut kepada Republika, Rabu (20/3/2024).

Ketut menerangkan, laporan korupsi LPEI yang disampaikan Sri Mulyani ke Jaksa Agung, sampai saat ini masih dalam telaah oleh tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sebelum diumumkan ke tahap penyelidikan, maupun penyidikan. Pun sebetulnya, kata Ketut, di Jampidsus sejak 2021 sudah menangani perkara korupsi di LPEI.

Bahkan dari perkara korupsi LPEI yang ditangani oleh Kejagung, menurut Ketut, sudah ada yang inkrah dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 2,6 triliun. Dan masih ada satu perkara lagi yang sudah disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 81,35 miliar.

“Kasus LPEI yang pernah ditangani oleh Jampidsus itu saja, ada tiga perkaranya, dan sudah ada yang inkrah. Dan satu perkara lagi terkait LPEI sudah dilaporkan oleh BPK ada kerugian negaranya. Sedangkan yang kemarin itu (pelaporan Sri Mulyani) sekali lagi saya sampaikan, itu masih dalam telaah untuk dipelajari. Jadi yang mana yang diminta untuk dihentikan?” ujar Ketut.

Pun Ketut menambahkan, terkait dengan proses hukum atas pelaporan baru kasus korupsi LPEI oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu juga terdiri dari banyak klaster yang semuanya mengenai perkara tindak pidana korupsi. Dan itu, kata Ketut, penanganan perkaranya bakal terpisah-pisah. Ketut menerangkan, yang dilaporkan oleh Sri Mulyani kepada Jaksa Agung, terdiri dari tiga klaster perkara.

“Kasus dugaan tindak pidana korupsi pada LPEI ini, ada banyak. Ada batch 1,2, dan 3,” ujar Ketut. Yang saat ini dalam telaah tim penyidikan di Jampidsus, adalah klaster satu.

Yaitu, kata Ketut terkait dengan penyimpangan, atau dugaan tindak pidana korupsi atas pemberian fasilitas kredit ekspor oleh LPEI terhadap empat perusahaan swasta sebagai debitur periode 2019. Dalam penyampaian resmi Menkeu Sri Mulyani bersama Jaksa Agung Burhanuddin, pada Senin (18/3/2024) mengatakan, nilai pemberian kredit yang terindikasi korupsi tersebut sebesar Rp 2,5 triliun.

Empat perusahaan dalam klaster kasus pertama yang bakal ditangani Kejakgung tersebut adalah PT RII senilai Rp 1,8 triliun, PT SMR senilai Rp 216 miliar, PT SRI sebesar Rp 144 miliar, dan PT PRS sebesar Rp 305 miliar. 

Ketut pernah menerangkan, perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di bidang pertambangan batu bara, dan nikel, serta perkebunan kelapa sawit, juga shipping atau perkapalan. Perusahaan-perusahaan tersebut, kata Ketut, menikmati pemberian fasilitas kredit ekspor yang berujung pada macet,sehingga merugikan keuangan negara.

Adapun pada klaster kedua, Ketut mengatakan, sudah disampaikan oleh Jaksa Agung ada enam perusahaan lain selaku debitur yang saat ini dalam proses pemeriksaan dan audit oleh tim terpadu di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), serta Inspektorat Kemenkeu. 

Enam perusahaan pada klaster kedua kasus tersebut, kata Ketut menjelaskan nominal kredit yang terindikasi merugikan negara setotal Rp 3,85 triliun. Ketut mempertanyakan, dari pelaporan atas klaster-klaster kasus tersebut, apakah ada kasus sama yang sejak Selasa (19/3/2024) diumumkan oleh KPK ke level penyidikan. Dan dari pengumuman tersebut, KPK meminta Kejakgung menghentikan proses hukum atas pelaporan Sri Mulyani terkait korupsi LPEI tersebut.

“Silakan teman-teman di KPK koordinasikan dengan kita (Kejagung) kasus yang dimaksud itu yang mana,” sambung Ketut.

photo
Karikatur Opini Republika : Pungli KPK (Lagi) - (Republika/Daan Yahya)

    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement