Selasa 19 Mar 2024 08:32 WIB

PKS Tolak RUU DKJ, Tapi Usulkan Gubernur Jakarta Dipilih DPRD

Hanya Fraksi PKS di DPR yang menolak RUU DKJ disahkan menjadi undang-undang.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah menggelar rapat pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ), di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/3/2024) malam.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah menggelar rapat pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ), di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/3/2024) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR telah mengambil keputusan tingkat I terhadap rancangan undang-undang (RUU) tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak RUU tersebut dibawa ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang.

Alasan pertama penolakan adalah penyusunan dan pembahasan RUU DKJ dilakukan tergesa-gesa, yang berpotensi menimbulkan masalah hukum ke depannya seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Ibu Kota Negara (IKN).

Baca Juga

"Berpotensi menimbulkan banyak permasalahan, karena penerapan undang-undang pemerintah daerah pada Jakarta membutuhkan banyak penyesuaian dan membutuhkan banyak masa transisi yang panjang," ujar anggota Baleg Fraksi PKS Ansory Siregar dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU DKJ, Senin (18/3/2024) malam.

Kedua, masih perlu dikaji lebih mendalam tentang posisi Jakarta. Sebab dalam RUU DKJ, Fraksi PKS melihat adanya banyak sebutan dan posisi Jakarta yang membuat peraturannya menjadi sangat rumit.

Ketiga, RUU DKJ belum melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna atau meaningful participation. Keterlibatan masyarakat bermakna perlu dilakukan untuk menghasilkan perundang-undangan yang tertib dan bertanggung jawab.

Keempat, ia melihat adanya pemaksaan pembahasan RUU DKJ yang dilakukan oleh Baleg dan pemerintah. Padahal seharusnya, undang-undang yang mencabut status ibu kota negara dari Jakarta sudah harus ada terlebih dahulu sebelum UU IKN.

"Cacat prosedural, mempertaruhkan substansi pengaturan, akan berdampak terbatasnya waktu untuk masyarakat berpartisipasi," ujar Ansory.

Kelima, Fraksi PKS menyoroti Jakarta yang terdiri dari wilayah kota otonom yang semula bersifat administratif. Hal tersebut seharusnya membuat adanya pemilihan dari rakyat wali kota untuk wilayah-wilayah administratifnya.

Keenam, mereka mendukung pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada). Terakhir, Fraksi PKS belum melihat adanya upaya untuk memberikan kekhususan untuk Jakarta.

"Misalnya aturan yang dapat mempertahankan atau meningkatkan posisi Jakarta sebagai pusat perekonomian Indonesia, misalnya dengan penghapusan pajak seperti Batam atau cara lainnya," ujar Ansory.

photo
Dewan Penasihat PKS - (infografis Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement