REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) menyatakan bahwa praktik dispensasi perkawinan dapat melanggengkan pernikahan anak, yang akan meningkatkan risiko kerentanan terhadap kaum perempuan.
Youth Engagement Focal Point for Gender Programme UNFPA Indonesia Cresti Fitriana memaparkan, berdasarkan data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia menikah di usia kurang dari 19 tahun.
Praktik dispensasi perkawinan itu bisa melanggengkan pernikahan anak sejak awal. "Hal itu kita ketahui dapat meningkatkan faktor-faktor risiko perkawinan anak terhadap perempuan, termasuk kekerasan terhadap perempuan, komplikasi kehamilan, serta kemiskinan," kata Cresti.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa batas minimal umur perkawinan bagi perempuan disamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun. Dalam UU tersebut juga dijelaskan batas usia yang dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir perceraian dan mendapatkan keturunan yang sehat dan berkualitas.
Dari temuan UNFPA global, perkawinan anak menyebabkan risiko kesehatan reproduksi pada perempuan, utamanya pada awal kehamilan. Berdasarkan kajian, perempuan muda dan anak perempuan berada pada risiko yang lebih besar ketika mereka melahirkan, juga berdampak pada kesehatan ibu dan bayi.
Ia memaparkan dari jumlah perkawinan anak secara total, 50 persen mendapatkan dispensasi perkawinan. Padahal perkawinan anak dapat mengakibatkan risiko lain, misalnya berdampak pada kerentanan perempuan terhadap kekerasan fisik, emosional, juga seksual.
"Jadi, penting bagi kita untuk mengetahui bahwa banyak faktor risiko yang bisa dialami jika ada perkawinan anak, dan mengapa dispensasi perkawinan dapat melanggengkan praktik tersebut," imbuhnya.
Untuk itu, UNFPA terus berupaya untuk berkolaborasi lintas sektor, dan memiliki teori perubahan bahwa ketika seorang perempuan dapat memastikan kesehatan seksual dan reproduksi, dia juga bisa memiliki otonomi untuk memutuskan hal yang penting baginya. Termasuk berkontribusi pada pembangunan, dan tanpa itu, perempuan tidak bisa mencapai kesetaraan gender.
"Kalau perempuan dapat terhindar dari perkawinan anak, maka dia bisa produktif. Jika berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, jika kita bisa mengurangi, bahkan menghapus dispensasi perkawinan, tentu kita bisa mencapai tujuan tersebut," kata dia.