REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar Tata Kota Yayat Supriatna menanggapi soal dewan aglomerasi di bawah kepemimpinan wakil presiden yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Yayat mengingatkan adanya Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur yang tidak bisa bekerja dengan maksimal, sehingga dewan aglomerasi mesti dirancang lebih jelas.
“Saya selalu mengingatkan agar dewan aglomerasi tidak mengulang kasus BKSP Jabodetabek. Kalau dewan ini tidak mempunyai kewenangan otoritas dalam konteks eksekusi maupun kewenangan di anggaran, itu bisa mengulang cerita-cerita lama,” ujar Yayat kepada Republika, Kamis (14/3/2024).
Yayat menjelaskan, gambaran dewan aglomerasi tersebut dianggap mirip dengan BKSP yang mengurus persoalan Jakarta dan wilayah aglomerasi yakni Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.
Dalam prosesnya, BKSP tidak memiliki kewenangan serta tidak punya anggaran untuk mengeksekusi program-program terintegrasi yang ingin dijalankan. Sehingga tidak begitu berguna untuk mengintegrasikan Jakarta dan kota-kota satelit.
Sehingga ia pun mewanti-wanti agar dewan aglomerasi, jika nantinya benar-benar akan dibentuk, bisa mengambil pelajaran dari BKSP. Dewan aglomerasi semestinya memiliki konsep anyar dengan langkah jitu untuk bisa mengintegrasikan Jakarta dan daerah sekitarnya yang masuk Provinsi Jawa Barat (Depok, Bogor, Bekasi, dan Cianjur) dan Provinsi Banten (Tangerang).
“Kalau tidak ada yang menangani persoalan integrasi di dalam badan ini (dewan aglomerasi), maka akan sulit untuk menyatukan karena perbedaan kemampuan fiskal antara Jakarta dan tetangga-tetangganya. Dan ingat, ini adalah UU DKJ bukan UU Jabodetabek,” ujar dia.
Lebih lanjut, Yayat menekankan kewenangan dewan aglomerasi untuk memiliki otonomi khusus dalam mengatur wilayah aglomerasi. Otonomi khusus itu memberi ruang bagi dewan aglomerasi untuk bisa melakukan intervensi kepada kota-kota penyangga Jakarta, sehingga ada keselarasan dalam merealisakan program. Baik misalnya program pengintegrasian transportasi umum, persoalan banjir, polusi, ataupun tata ruang.
“Jadi posisinya harus jelas dulu apakah nanti dewan aglomerasi bisa mengintervensi dalam bentuk program-program kegiatan,” tegasnya.
DPR RI diketahui telah membahas persoalan RUU DKJ dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Rabu (13/3/2024) siang. Usai menghadiri rapat dengan anggota dewan di Senayan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan isu krusial RUU DKJ. Salah satunya adalah polemik aglomerasi Jakarta dan daerah sekitarnya yang nantinya akan diserahkan kewenangannya kepada wakil presiden.
Ia menjelaskan, aglomerasi Jakarta akan berkesinambungan dengan daerah lain, yakni Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, dan Cianjur. Kewenangan wakil presiden tersebut juga dijelaskannya tak mengambil alih kewenangan pemerintah daerah. Sebab RUU DKJ itu tidak terikat dalam satu undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Tito menyebut berbagai permasalahan di Jakarta dan daerah sekitarnya membutuhkan penanganan yang dilakukan wakil presiden. Hal tersebut sudah diterapkan pemerintah saat ini, ketika menunjuk Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin sebagai Ketua Badan Percepatan Pembangunan Papua.
“Nah prinsip dari kawasan ini adalah sekali lagi utamanya adalah harmonisasi program, mulai dari perencanaan, dan melakukan evaluasi secara reguler. Supaya on the right track, semuanya sinkron, banyak sekali daerah-daerah yang juga tidak sinkron, dan ini kemudian perlu ada yang melakukan itu, sinkronisasi ini,” kata mantan kapolri itu.
Sebelumnya calon presiden (capres) nomor urut 01 dalam Pilpres 2024 yang juga merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 Anies Baswedan menanggapi polemik RUU DKJ yang bakal ada dewan aglomerasi yang dinahkodai oleh wakil presiden. Ia mewanti-wanti agar rencana dalam beleid tersebut tidak memunculkan kerumitan baru di kawasan aglomerasi Jakarta.
“Kalau dari pengalaman kita di Jakarta sebenarnya kerjasama antar daerah itu bisa terjadi dengan baik,” kata Anies kepada wartawan di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (13/32024).
Anies yang sempat menjadi Ketua BKSP Jabodetabekjur pada 2018 itu menyebut memang perlu ada kelonggaran untuk Jakarta bisa melakukan kegiatan pembangunan di luar Jakarta atau di kawasan penyangga. Hal itu untuk menangani seabrek permasalahan yang terjadi mulai dari banjir hingga transportasi publik.
Ia menekankan adanya lembaga baru harus bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan dari Jakarta dan wilayah sekitarnya, agar bisa berjalan dengan sinkron.
“Sehingga tidak menimbulkan kerumitan baru. Kadang-kadang kita membuat lembaga baru tapi lembaga baru ini belum tentu menyelesaikan masalah yang sesungguhnya ada,” kata dia.
“Jadi kalau saya boleh usul sebaiknya prosesnya lebih bottom up, kumpulkan yang selama ini mengelola Jakarta dan sekitarnya, tanyakan apa yang menjadi kebutuhannya, dari situ UU ini dibuat menyesuaikan,” lanjutnya.