Rabu 13 Mar 2024 19:18 WIB

Mengapa Polisi Periksa Ulang Apartemen TKP Bunuh Diri Satu Keluarga?

Ahli psikologi forensik menilai peristiwa bunuh diri satu keluarga sebagai pidana.

Warga berdoa di sekitar TKP sekeluarga bunuh diri, Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara, Ahad (10/3/2024).
Foto:

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel tidak sepakat dengan kasus tewasnya empat orang anggota keluarga usai melompat dari Apartemen Teluk Intan Tower Topas Penjaringan Jakarta Utara sebagai kasus bunuh diri. Menurutnya, kasus tersebut perlu dicatat sebagai tindak pidana.

“Dalam pendataan polisi, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, tetap peristiwa memilukan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana,” kata Reza dikonfirmasi di Jakarta, Selasa, kemarin.

Reza menjelaskan, tindak pidana yang dimaksudkan adalah terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa anak untuk melompat dari gedung tinggi. Empat orang yang terjun dari atap apartemen itu, kata Reza, baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama), hanya jika bisa dipastikan bahwa masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensual) untuk melakukan perbuatan demikian.

“Namun, ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak,” katanya.

Menurut Reza, implikasi dalam kasus ini adalah, bila kedua anak tersebut dianggap berkehendak dan bersepakat dalam peristiwa tersebut maka serta-merta gugur. “Dalam situasi apapun anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuan bagi aksi bunuh diri,” katanya memaparkan.

Reza menganalogikan, kasus ini dengan aktivitas seksual. Dari sudut pandang hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual. Siapapun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak, kata Reza, secara universial selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual.

“Anak-anak secara otomatis berstatus korban,” ujar Reza menerangkan.

Jika ditarik kembali ke kasus terjun bebas di Jakarta Utara tersebut, kata dia, terlepas kedua anak dalam kasus tersebut mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, tetap-sekali lagi- mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju. Aksi terjun bebas tersebut, kata Reza, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual (kesepakatan).

“Karena tidak konsensual, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut,” ujarnya.

Atas dasar itulah, kata Reza, dengan esensi pada keterpaksaan tersebut, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri. Karena, mereka dipaksa melompat, maka mereka justru jadi korban pembunuhan.

“Pelaku pembunuhnya adalah pihak yang -harus diasumsikan- telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa,” katanya.

Kehidupan adalah anugerah berharga dari Allah SWT. Segera ajak bicara kerabat, teman-teman, ustaz/ustazah, pendeta, atau pemuka agama lainnya untuk menenangkan diri jika Anda memiliki gagasan bunuh diri. Konsultasi kesehatan jiwa bisa diakses di hotline 119 extension 8 yang disediakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes juga bisa dihubungi pada 021-500-454. BPJS Kesehatan juga membiayai penuh konsultasi dan perawatan kejiwaan di faskes penyedia layanan
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement