Selasa 30 Jan 2024 16:43 WIB

Menimbang Satelit LEO atau GEO untuk Satria-2

Pemeliharaan perangkat satelit GEO lebih mudah karena posisi orbitnya.

Stasiun bumi Satelit Republik Indonesia (SATRIA)-1 di Desa Matungkas, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Kamis (28/12/2023). Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membangun 11 stasiun bumi di sejumlah lokasi di Indonesia yang akan memancarkan balik gelombang telekomunikasi menggunakan satelit SATRIA-1 berkapasitas 150 Gbps yang merupakan satelit terbesar di Asia dan ke-5 di dunia untuk menopang layanan akses internet 37 ribu titik dengan kecepatan hingga sekitar 5 Mbps.
Foto: ANTARA FOTO/Adwit Pramono
Stasiun bumi Satelit Republik Indonesia (SATRIA)-1 di Desa Matungkas, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Kamis (28/12/2023). Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membangun 11 stasiun bumi di sejumlah lokasi di Indonesia yang akan memancarkan balik gelombang telekomunikasi menggunakan satelit SATRIA-1 berkapasitas 150 Gbps yang merupakan satelit terbesar di Asia dan ke-5 di dunia untuk menopang layanan akses internet 37 ribu titik dengan kecepatan hingga sekitar 5 Mbps.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah menimbang untuk menggunakan antara satelit GEO (Geostationary Earth Orbit) atau satelit LEO (Low Earth Orbit) untuk nantinya dijadikan sebagai Satelit Republik Indonesia-2 (Satria-2).

Kepala Divisi Infrastruktur Satelit Bakti Kominfo Sri Sanggrama Aradea menyebutkan, pertimbangan itu muncul melihat perkembangan adopsi satelit LEO yang dalam beberapa tahun terakhir meningkat secara global. "Kami masih kerjakan teknisnya, saat ini kami masih menimbang apakah akan terus menggunakan satelit GEO atau akan pakai konstelasi LEO," kata pria yang akrab disapa Aradea itu di Jakarta, Selasa, (30/1/2024).

Baca Juga

Menurutnya, kedua jenis satelit yang dibedakan karena orbitnya itu memiliki keunggulan masing-masing yang tentunya berbeda satu sama lain. Adapun untuk satelit GEO diketahui jaraknya memang paling jauh karena harus berada di angkasa dengan jarak 36 ribu kilometer dari bumi.

Membuat persiapannya untuk beroperasi disiapkan dalam periode yang lebih panjang. Meski begitu, pemeliharaan perangkat satelit GEO lebih mudah karena posisi orbitnya dan perangkatnya konsisten. 

Dari sisi keamanan hal itu juga memberikan keunggulan karena satelit ini hanya membutuhkan sedikit perangkat yang perlu dikelola membuat keamanannya lebih terjaga. Sementara untuk satelit LEO, sebagai satelit yang paling dekat dengan bumi berjarak sekitar 500-1.200 kilometer membawa keunggulan transmisi data menjadi lebih rendah sehingga dapat menawarkan kecepatan jaringan telekomunikasi yang lebih baik.

Akan tetapi satelit LEO membawa tantangan dari segi keamanan karena membutuhkan lebih dari satu perangkat bahkan puluhan untuk menyediakan jaringan telekomunikasinya. Apabila mengadopsi satelit LEO, Aradea menyebutkan bahwa pengelola satelit harus transparan pada pemerintah Indonesia.

"LEO itu cakupannya global, artinya tidak bisa dikontrol semua karena terkait datanya juga ada yang namanya intersatelit, dan itu berpotensi ada pertukaran data antar satelit. Itu datanya jatuh ke mana tidak ada yang tahu. Itu permasalahan LEO, jadi kalau memang mau digunakan harus transparan dan adil pengelolanya," kata Aradea.

Meski demikian, Satria-2 dipastikan tetap akan hadir karena telah masuk perencanaan ke dalam Green Book Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sebelumnya, Satria-2 diperkirakan akan membutuhkan investasi sebesar 884 juta dolar AS atau sekitar Rp 13,7 triliun.

Pada awalnya satelit itu dirancang akan mengikuti pendahulunya yaitu Satria-1 yang mengadopsi satelit GEO. Untuk Satria-2 kapasitas yang diharapkan bisa tersedia sebesar 300 Gbps, dengan mengadopsi teknologi twin sattelite yang membuatnya terdiri atas dua bagian yaitu Satria-2A dan Satria-2B.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement