Jumat 26 Jan 2024 21:42 WIB

Pakar Soroti Penurunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

Uutput ekonomi RI yang dijual ke luar negeri lebih banyak dari industri ekstraktif.

webinar Moya Institute bertema Demokrasi Indonesia: Terjerembab ke Dalam Dinasti Politik di Jakarta pada Jumat (26/1/2024).
Foto: Republika.co.id
webinar Moya Institute bertema Demokrasi Indonesia: Terjerembab ke Dalam Dinasti Politik di Jakarta pada Jumat (26/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, Sirojudin Abbas: Politik Dinasti Menghambat Ekonomi Inklusif Indonesia

Jakarta – Model politik eksklusif, contohnya yang dilakukan melalui politik dinasti, dapat menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi nasional.

JAKARTA -- Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan, penurunan kualitas demokrasi di Indonesia saat ini diperlihatkan melalui menguatnya nepotisme. Hal itu merujuk keterlibatan keluarga Presiden Jokowi di berbagai posisi penting pemerintahan.

"Sistem politik yang eksklusif ini tidak memberi ruang untuk kepercayaan dan kompetisi yang terbuka serta adil bagi semua warga negara," ujarnya dalam webinar Moya Institute bertema 'Demokrasi Indonesia: Terjerembab ke Dalam Dinasti Politik' di Jakarta pada Jumat (26/1/2024).

Menurut Sirojudin, yang dominan saat ini adalah ekonomi ekstraktif yang dikelola oleh klien atau kroni politik. Sebagai contoh, sambung dia, meskipun Presiden Jokowi menekankan pentingnya industrialisasi, kebijakan impor beras yang besar-besaran dianggap sebagai indikator kegagalan pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian.

Sirojudin menganggap, kritik seperti itu semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa output ekonomi Indonesia yang dijual ke luar negeri lebih banyak berasal dari industri ekstraktif dengan para pemain yang terbatas, ketimbang dari industri yang melibatkan sumber daya manusia secara masif.

Direktur Negarawan Center, Johan Silalahi menganggap, kritik terhadap praktik politik dinasti oleh Jokowi dan keluarganya, serta koalisinya dengan Ketum DPP partai Gerindra Prabowo Subianto, mengkhawatirkan masa depan demokrasi dan ekonomi Indonesia. Hal itu memunculkan risiko besar terhadap integritas politik dan keadilan sosial di Indonesia.

Menurut Johan, bergabungnya Prabowo ke dalam pemerintahan pada awalnya dianggap untuk kepentingan persatuan bangsa. Namun, koalisi tersebut kini justru dipandang sebagai strategi untuk memperkuat kekuasaan politik.

Merujuk pada pandangan mengenai negara gagal yang digambarkan oleh ekonom Daron Acemoglu dan ilmuwan politik James A Robinson, Johan menilai, demokrasi adalah indikator untuk menjadi negara maju. Pasalnya, keterbukaan dalam negara demokrasi mencakup keterbukaan dalam bidang ekonomi.

Dia menilai, pemerintahan Jokowi pada periode kedua, merupakan ancaman bagi perekonomian. "Semakin otoriter pemerintahan, maka akan semakin miskin dan suram masa depan negara itu. Indonesia sudah lampu kuning. Makanya situasi kita sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi sudah terancam, dipicu oleh skandal MK," ujar Johan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement