Kamis 18 Jan 2024 07:23 WIB

Pakar Hukum Tata Negara Sebut Wacana Pemakzulan Presiden Jokowi Imajiner

Sangat mustahil dilakukan pemakzulan dalam ketiadaan sangkaan spesifik secara hukum.

Ahli hukum tata negara dan konstitusi asal Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid.
Foto: Dok Republika
Ahli hukum tata negara dan konstitusi asal Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid, menilai usulan pemakzulan Presiden Jokowi oleh Petisi 100 bersifat politis. Menurutnya, wacana pemakzulan itu lebih berorientasi pada upaya mendelegitimasi Pemilu 2024.

Fahri menyebut secara konstitusional wacana terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional. Sehingga wacana itu disebutnya hanya imajiner belaka. "Ini sangat destruktif dalam upaya membangun demokrasi konstitusional saat ini. Sebab secara konstitusional discourse terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka," tuturnya dalam keterangan, Kamis (18/1/2024).

Baca Juga

Fahri menambahkan, lembaga pemakzulan (impeachment) presiden telah diatur secara limitatif dalam konstitusi (UUD NRI 1945). Yakni, pada ketentuan norma Pasal 7A dan 7B. "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden," ujarnya.

Selain itu, kata dia, usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Ketentuan terkait proses ini diajukan dengan minimal dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota.

"Jika MK memutuskan presiden dan atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden kepada MPR," ujar Fahri.

Setelah itu, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak menerima usul dari DPR. Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Dengan catatan, presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

"Dengan demikian merupakan sesuatu yang sangat mustahil dari aspek kaidah hukum tata negara untuk dilakukan proses pemakzulan presiden dalam ketiadaan sangkaan yang spesifik secara hukum," tegas Fahri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement