Rabu 17 Jan 2024 13:54 WIB

Hasto Harap Usulan Pemakzulan Presiden Jokowi Dianggap Sebagai Kritik

Menurut PDIP, pemakzulan memiliki syarat tak mudah dan terdapat risiko ke depannya.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto.
Foto: Republika/Prayogi
Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengatakan,pemimpin yang amanah pasti akan menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Jika hal tersebut terjadi, tentu tak akan ada usulan pemakzulan yang disampaikan oleh sejumlah kelompok.

PDIP berpandangan, pemakzulan memiliki syarat tak mudah dan terdapat risiko ke depannya. Namun, ia berharap, usulan tersebut dianggap Jokowi sebagai bagian dari kritik masyarakat terhadapnya.

"Kita berharap ini sebagai mekanisme kritik, agar direspons dengan sebaik-baiknya. Sehingga diharapkan pemilu menjadi legacy bagi Presiden Jokowi," ujar Hasto di Media Center Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2024).

Pasalnya, PDIP menangkap kegelisahan berbagai elemen masyarakat terkait netralitas aparatur negara pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Khusus netralitas Jokowi juga disorot, karena Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto.

"Masih ada 26 hari ke depan untuk merubah suatu policy, agar setiap pemimpin satu kata dan perbuatan. Sehingga pemilu dapat berjalan dengan baik, dengan menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Tanpa intervensi kekuasaan, tanpa intimidasi," ucap Hasto.

Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani mengatakan, usulan pemakzulan Jokowi mengada-ada. Sebab berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada 1999, 2000, 2001, dan 2002 tak memberi ruang untuk memakzulkan presiden.

Sekjen DPP Partai Gerindra itu pandangan, dalam amandemen tersebut membuat sistem pemerintahan yang presidensial memberi penguatan kepada seseorang yang sedang menjabat sebagai presiden. Tujuannya agar presiden dapat konsentrasi dalam lima tahun menjalankan pemerintahannya.

Menurut Muzani, Pasal 7A UUD 1945 menetapkan alasan pemakzulan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Pemakzulan dapat diajukan jika Jokowi terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya.

Selanjutnya dalam Pasal 7B UUD 1945, usul pemberhentian presiden dapat diajukan DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Nantinya, MK diminta untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak.

"Isu pemakzulan atau upaya untuk pemakzulan di dalam UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen tidak memberi ruang sesungguhnya di situ," ujar Muzani saat ditemui di ruangannya, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (15/1/2024).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement