Senin 15 Jan 2024 06:15 WIB
50 Tahun Malari

50 Tahun Malari, Gedung Astra Dibakar dan Om William Naik Ambulans ke Sunter

Presiden Soeharto sampai menjelaskan keluarganya tak punya saham Jepang.

Gedung Astra
Foto:

Saat itu hampir seluruh sektor konsumsi didominasi Jepang, kecuali rokok. Barang-barang Jepang yang harganya relatif lebihmurah dibanding produk impor lainnya menyingkirkan barang-barang sejenis yang sempat menguasai pasaran. Dan di jalanan, situasinya lebih terasa lagi. Gemuruh mesin mobil Toyota, Datsun, Nissan, Honda meramaikan jalan raya. Begitu juga sepeda motor Honda, Yamaha, dan Suzuki. Mereka menghantam dominasi AJS Matchless, Norton, dan BMW. Tapi tak cuma di jalanan pergeseran itu terjadi. Neon-neon reklame yang menerangi jalan-jalan Jakarta sepanjang malam juga memamerkan merek-merek Jepang, termasuk reklame TOYOTA yang bertengger di atas beberapa gedung tinggi di Jakarta. Dalam kondisi demikian, jelas sangat mudah untuk menimbulkan sentimen anti-Jepang.

Terbukti, tali-temali isu anti-Jepang ini yang menjadi penyulut ketika Tanaka hadir, dan tetap muncul setelah dia meninggalkan Jakarta, 17 Januari 1974 pukul 18.00, diantarkan langsung oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Gedung Bina Graha ke pangkalan udara. Tanaka pergi, isu anti-Jepang tetap muncul. 

 

Itu adalah hari-hari yang cukup mengguncangkan bagi William yang selalu merasa sebagai anak Majalengka, menjadi orang Indonesia dan merasa Astra adalah perusahaan Indonesia.Toh dalam kondisi demikian, tak tampak kegalauan padawajahnya. "Daddy cukup tenang meski badai cukup berat," ujarJudith Soeryadjaya. Bukan hanya di depan keluarganya dia me-nampakkan ketenangan, di depan karyawannya pun dia tetapbersikap seperti biasa. Tak menampilkan kemurungan, kegusa-ran ataupun kemarahan.

 

Sesungguhnya Malari bukanlah peristiwa kerusuhan per-tama yang memukul Astra. Setahun sebelumnya, persisnya 5 Agustus 1973, showroom Toyota di Bandung juga dibakar dalam kerusuhan rasial anti-Tionghoa. Sementara Malari dipicudemonstrasi mahasiswa yang sumbunya seakan sudah disundutsebelumnya, dalam kerusuhan di Bandung, pemicunya bersifat spontan, yakni tersenggolnya seorang tukang gerobak bernama Asep bin Tosin oleh mobil VW yang dikendarai 3 orang pemuda Tionghoa di kawasan Astana Anyar. Selain showroom Astra, tiga pabrik tekstil dan showroom PT Permorin (dealer Mercedes-Benz) juga dirusak. Cuma, dibanding Malari, berita kerusuhan Bandung relatif bisalebih cepat diredam oleh pemerintah.

Saat kembali masuk kerja seminggu setelah Malari meledak,suasana kantor masih berantakan. William memutuskan untuktidak membuat pertemuan khusus dengan karyawan membicara-kan apa yang terjadi secara detail. Karyawan dimintanya bekerjaseperti biasa. Dia pun demikian. Tetap menampilkan raut wajahyang tenang, dengan sapaan hangat dan candanya. 

Beberapa hari setelah keadaansudah mulai stabil, William mengambil keputusan yang bagi se-bagian orang mungkin terasa aneh: memerintahkan Astra meng-ganti sepeda motor dan mobil yang dibakar di showroom dealer maupun sepeda motor atau mobil produk Astra yang baru saja dibeli oleh pelanggan. Maka jadilah perusahaan yang tengah ditimpa musibah ini sibuk mendata, menghubungi pemilik. Langkah William justru menampilkan bahwadia yang sudah kena masalah memilih untuk tertimpa tangga. Ini semua tak bisa muncul bila tak ada rasa tanggung jawab yyangbesar dalam dirinya. 

Persisnya 21 Januari,Presiden Soeharto memanggil pemimpin-pemimpin redaksisurat kabar terkemuka dalam suatu pertemuan. Yang menarik,dalam pertemuan itu Presiden Soeharto juga membawa suratpernyataan dari sejumlah perusahaan yang menyatakan bahwa tidak ada keluarga presiden yang tercantum namanya dalam dokumen-dokumen resmi dari perusahaan tersebut. 

Perusahaan-perusahaan itu adalah Bogasari, Batik Keris, Sahid, dan Astra.Pernyataan ini dibuat untuk mengklarifikasi rumor di masyarakatbahwa keluarga presiden memperoleh penghasilan dariperusahaan-perusahaan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement