Senin 15 Jan 2024 06:15 WIB
50 Tahun Malari

50 Tahun Malari, Gedung Astra Dibakar dan Om William Naik Ambulans ke Sunter

Presiden Soeharto sampai menjelaskan keluarganya tak punya saham Jepang.

Gedung Astra
Foto: Istimewa
Gedung Astra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peristiwa Malari tahun ini genap 50 tahun. Dari berbagai pihak yang pantas waswas terkait Malari waktu itu, barangkali hanya dua pihak, yakni Thayeb Muhammad Gobel dan William Suryadjaya. Mengapa? Kedua pengusaha ini berkongsi erat dengan pebisnis Jepang. Thayeb Gobel bermitra dengan Panasonic Matsushita dalam mengembangkan industri elektronik nasional. William menggandeng Toyota, pemain otomotif terbesar di Jepang, untuk memasarkan produknya di Indonesia. 

Dalam biografinya yang berjudul Man of Honor Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya disempatkan menulis satu bab khusus mengenai peristiwa tersebut dari sudut pandang keluarga dan pegawai Astra. Berikut cuplikannya: 

Baca Juga

Massa yang menyerbu Pasar Senen, Jl. Juanda, kawasan Glodok dan Blok M melakukan penjarahan, merusak toko-toko serta membakar mobil dan sepeda motor buatan Jepang, kendar-aan yang dipasarkan Astra. Bahkan kantor pusat Astra di Juanda 22 yang baru saja diresmikan Menteri Luar Negeri, Adam Malik, tak luput dari amuk massa. Begitu juga gedung showroom Toyota Astra Motor di Jl Sudirman. Bangunan tiga lantai yang belum lama diresmikan dengan pesta meriah dan menjadi gedung paling mentereng di ruas Sudirman itu tak luput dari aksi bumi hangus.

Astra sebagai distributor produk-produk Jepang tak bisa menghindar dari amuk massa di tengah demonstrasi anti modalasing tersebut. "Situasi sangat mencekam. Kami lihat dari lantai 2, dari atas kantor bagaimana kejadian itu berlangsung. Batu-batu sebesar kepalan dua tangan memecahkan kaca kantor. Ruang kantor hancur," ungkap Ire, sekretaris pribadi William yang bersama Sofie, sekretaris William lainnya, berlindung di dalam kantor hingga malam hari.

Perubahan situasi sungguh berjalan demikian cepat. Bebe-rapa jam sebelumnya, keduanya bersama Gigin, sekretaris Teddy Rachmat, masih sempat makan siang di RM Sari Bundo, tak jauh dari kantor. Begitu kembali ke arah kantor, mereka melihat keru-munan orang sudah berjalan mengarah ke Istana Negara. Bergegas kembali ke tempat kerja, yang mereka saksikan sungguh di luar dugaan. Banyak orang sudah naik ke atas mobil-mobil yang diparkir di depan kantor Astra. Suasana gaduh. 

Lutut mereka sontak gemetar. Ketakutan menyergap ketiganya seiring kaki melangkah ke lantai 2. Dan tak lama kemudian, prang... ter-dengar kaca showroom di lantai satu pecah kena lemparan batu.

"Kami tadinya tak berpikir akan rusuh. Sebelumnya kami sempat tenang-tenang," Gigin mengenang. Di luar kantor situasi jauh dari keadaan yang menenangkan. Di tengah matahari yang masih terik memancar, massa menge-pung membawa amarah. Teriakan-teriakan anti-Jepang meme-kakkan telinga. Juga teriakan-teriakan provokatif yang membuat hati kecut. 

"Hancurkan! Bakar!"

Untuk mengantisipasi kerusuhansemakin luas ke dalam kantor, salah seorang karyawan bagian general affair bergerak keluar ke arah massa buat menenangkan demonstran yang berubah menjadi perusuh. Toh kehancuran sudah terjadi. Di jalan, mobil-mobil sudah dibakar, dijungkirbalikkan. Sepeda motor juga dilalap api. 

Hari itu dan esoknya, Rabu, api dengan rakusnya melahap Jakarta. Dua hari itu asap mengepul di hampir setengah bagian kota. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement