REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peristiwa Malari tahun ini genap 50 tahun. Dari berbagai pihak yang pantas waswas terkait Malari waktu itu, barangkali hanya dua pihak, yakni Thayeb Muhammad Gobel dan William Soeryadjaya.
Mengapa? Kedua pengusaha ini berkongsi erat dengan pebisnis Jepang. Thayeb Gobel bermitra dengan Panasonic Matsushita dalam mengembangkan industri elektronik nasional. William menggandeng Toyota, pemain otomotif terbesar di Jepang, untuk memasarkan produknya di Indonesia.
Ramadhan KH, penulis biografi Thayeb Gobel, mencantumkan bab khusus soal Malari ini di dalam bukunya yang berjudul Gobel: Pelopor Industri Elektronika Indonesia dengan Falsafah Usaha Pohon Pisang. Berikut petikannya:
Suasana di luar pabrik gerah. Mahasiswa-mahasiswa meng-adakan aksi terhadap modal asing. Mengetahui keadaan demikian,Pak Gobel memanggil Gandhi Kaluku, Kepala Humas PT National Gobel. Dalam percakapan dengan Gandhi, Pak Gobel mengetahui lebih banyak, apa yang sedang terjadi di akhir Desember 1973 itu. Bacaan pun sampai padanya, di koran dan di majalah, apa yang sedang terjadi di Thailand.
"Ayo, kamu keluarkan pernyataan bila ditanya wartawan."
"Isinya?" tanya Gandhi.
"Ya, seperti yang tadi aku katakan. Kita menaruh simpatipada mahasiswa-mahasiswa, pada aksi-aksi mereka terhadap modal asing."
Sementara itu ia pun ingat bahwa perusahaannya juga merupakan joint venture, kerjasama dengan modal asing, kerjasama dengan Jepang. "Kita pun tidak suka pada modal asing yang kegunaannya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat secara menyeluruh, secara tidak merata," kata Pak Gobel.
"Ayo, kamu bicara nanti kalau ada yang tanya," kata Gobel. Dan Gandhi Kaluku pergi, melakukan perintah atasannya. Selang beberapa jam, seperti sering terjadi, telepon berdering di kamar Gandhi. Wartawan menghubunginya, bertanya tentang sikap perusahaan Pak Gobel mengenai modal asing.
"Pimpinan PT National Gobel menaruh simpati kepadakegunaannya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat secara menyeluruh dan merata." Itu kalimat panjang yang dikemukakan Gandhi, dengan tik-tikan di tangannya.
“Bukan sembarang modal asing. Modal asing yang tidak dapat dinikmati oleh masyarakat secara menyeluruh dan merata. Itu yang tidak kami setujui," kata Gandhi.
"Selanjutnya?" tanya wartawan dari jauh.
"Ya, National Gobel berpegang pada filsafahnya. Pohon pisang itu. Anda sudah tahu, kan?"
"Sudah. Berapa karyawan yang ada sekarang di PT Na-tional Gobel?"
"Sekarang 1.750 orang," jawab Gandhi.
"Berapa gaji terendah di sana sekarang?"
"Terendah, Rp 17.500 sekarang," jawab Gandhi. "Tapi Anda harus tahu, kami tanggung transpor, kesehatan, dan lain-lain."
Tanggal 24 Desember 1973 keluar berita di Harian '45, sebuah tulisan, berita berwarna. "Gandhi Kaluku selaku Humas PT National Gobel dalam keterangannya mengatakan bahwa pimpinannya menaruh simpati terhadap (pada) aksi-aksi mahasiswa terhadap modal asing yang ternyata kegunaannya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat secara menyeluruh dan merata. Aksi protes semacam itu akan mem-buka mata dan membangun hati para pengusaha terutama pengusaha joint venture, agar tidak seenaknya saja memperkaya diri sendiri, sebaliknya akan lebih giat mengarahkan geraknya untukkepentingan nasional.
PT National Gobel dalam mengembangkan usaha yang ber-bentuk joint venture itu menganut ‘falsafah pisang’, yang maksud-nya memberikan buah untuk dinikmati seluruh lapisan masya-rakat Indonesia. PT National Gobel memberikan gaji teren-dah Rp 17.500, juga uang transpor, uang makan, pengobatancuma-cuma, dan pakaian seragam.
Koran Harian 45 itu sampai di meja Pak Gobel. Dirut itu membacanya. Ia senang. Waktu bertemu dengan Gandhi, ia manggut-manggut dan menunjukkan kesenangannya. "Bagus," katanya.